
Kasus persebaran penyakit zoonosis melalui hewan, khususnya tikus, masih belum banyak terungkap di Indonesia. Padahal, tikus berpotensi membawa berbagai penyakit berbahaya seperti pes, leptospirosis, rickettsiosis, dan hantavirus. Minimnya informasi di masyarakat membuat upaya pencegahan belum dilakukan secara rutin. Selain itu, gejala penyakit yang mirip dengan demam berdarah atau tifus serta sulitnya pemeriksaan laboratorium menyebabkan banyak kasus tidak terdeteksi.
Menjawab tantangan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman mengembangkan Pestorita (PES, Leptospirosis, Rickettsiosis, dan Hantavirus), yakni alat deteksi dini buatan lokal yang murah, mudah, dan dapat digunakan di fasilitas kesehatan sederhana.
Periset Biomolekuler Eijkman BRIN, Farida D. Handayani, menjelaskan riset Pestorita dirancang dalam peta jalan tiga tahun, mulai dari pemetaan genetik, pengembangan in-house PCR, hingga pembuatan alat tes cepat atau rapid test. “Riset ini merupakan upaya menghasilkan alat deteksi lokal yang praktis dan terjangkau untuk mendukung diagnosis penyakit zoonosis,” ungkap Farida dikutip dari laman BRIN, Rabu (3/9).
Penelitian ini melibatkan kolaborasi dengan Universitas Amsterdam, PT Konimex, serta laboratorium khusus Leptospira di Kawasan Kerja Bersama M.F. Sustriayu Nalim, Salatiga. Saat ini, Farida bersama tim fokus pada pengembangan deteksi leptospirosis dengan membandingkan kinerja empat produk RDT (Rapid Diagnostic Test) IgM yang tersedia di Indonesia. “Kami berusaha mengembangkan RDT yang paling efektif dan efisien agar dapat digunakan secara luas di layanan kesehatan,” tambahnya.
Namun, menurutnya, RDT berbasis antigen yang tengah dikembangkan masih memerlukan uji lanjut untuk meningkatkan sensitivitas. Karena itu, tim periset juga mengembangkan in-house PCR khusus untuk deteksi leptospirosis. “Dengan riset ini, kami berharap dapat menghasilkan produk dalam negeri yang lebih berkualitas, terjangkau, dan mampu memperkuat upaya deteksi penyakit zoonosis di Indonesia,” pungkas Farida. (E-3)