
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Setiap kali langit menghadirkan gerhana bulan total, media massa kita seperti punya stok judul wajib: Blood Moon! Bulan berdarah! Seakan-akan langit sedang _cosplay_ jadi film horor Hollywood kelas B, lengkap dengan soundtrack seram.
Padahal, kalau ditanya astronom, fenomena ini sesederhana filter cahaya matahari yang disaring atmosfer bumi: biru dipinggirkan, merah diberi panggung. Hasilnya?
Bulan pucat pasi berubah merah jingga, seolah sedang diet ketat tapi tetap berkarisma.
Kita membicarakan Blood Moon ini bukan sekadar ikut-ikutan judul dramatis media. Anda tahu, pada 7–8 September 2025 ini, langit dunia —termasuk Indonesia— akan dihiasi gerhana bulan total yang berlangsung lebih dari lima jam, dengan fase puncak totalitas selama 82 menit.
Baca juga: UI Sahkan Agus-Bintang Sebagai Ketua dan Wakil Ketua BEM UI 2025
Saat _Blood Moon_ berlangsung, langit malam —kali ini tengah malam jelang dinihari— seolah berubah panggung. Bulan yang biasanya putih perak kini menggantung redup dengan rona merah tembaga, seperti bara yang membara perlahan di kegelapan.
Cahaya tipisnya memandikan hutan dan pegunungan dengan nuansa asing, membuat bayangan pepohonan tampak lebih pekat dan misterius. Burung malam yang biasanya riang berbunyi mendadak terdiam, sementara anjing di kejauhan menggonggong tanpa sebab.
Suasana itu seakan menangkap keganjilan kosmik yang manusia tafsirkan dengan kalkulasi. Suasana hening itu kadang justru lebih gaduh di hati: ada rasa takjub, sedikit gentar, dan juga rasa kecil di hadapan tata langit yang berjalan tanpa peduli pada riuh manusia di bumi.
Baca juga: Waspadai Sejak Dini Penyakit Menular Campak, Ancaman Kesehatan Anak
Kita bisa menikmatinya dengan cara yang sederhana sekalipun: berbaring di teras rumah, menyalakan kamera, atau ikut nonton bareng di planetarium. Anak-anak bertanya, orang tua menjelaskan, dan sesekali selfie pun boleh—asal tidak lupa bahwa ini bukan sekadar tontonan gratis dari alam.
Fenomena yang sudah diprediksi NASA dan berbagai observatorium internasional ini tentu akan jadi tontonan kosmik. Tak hanya itu, peristiwa langka ini sekaligus bisa jadi bahan refleksi: betapa presisi perhitungan astronomi mampu memastikan detail peristiwa langit jauh sebelum ia terjadi.
Istilah Blood Moon lebih populer di dunia Barat. Ia punya resonansi religius, terutama dalam tradisi Kristen, karena disebut dalam Alkitab di Kitab Yoel 2:31: "Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah, sebelum datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu."
Baca juga: Mengenal Desa Kasokandel: Jejak Arya Salingsingan, Makam Buyut, hingga Tradisi Ujungan
Kitab Wahyu 6:12 dan Kisah Para Rasul 2:20 pun mengulang _imagery_ serupa sehingga istilah Blood Moon makin kuat dalam tradisi Kristen. Jadi, "bulan berdarah" bukan ciptaan netizen abad 21, melainkan sudah jadi bahan baku khotbah apokaliptik sejak ribuan tahun lalu.
Dalam kitab suci al-Qur’an, tidak ada istilah "bulan darah". Yang ada adalah isyarat kosmik pada hari kiamat: "Maka apabila mata terbelalak ketakutan, dan bulan pun menjadi gelap, dan matahari dan bulan dikumpulkan" (Qs. al-Qiyamah: 7–9).
Ayat ini berbicara soal peristiwa akhir zaman, bukan kalender event astronomi bulanan. Jadi, menyebut gerhana sebagai "bulan darah" dalam konteks Islam agak kurang relevan, meski sah-sah saja kalau dipakai sekadar istilah populer.
Lucunya, sains bisa memprediksi gerhana dengan ketepatan setara jadwal kereta Shinkansen. Misalnya, NASA sudah punya daftar gerhana lengkap sampai tahun 2100. Anda bisa tahu, 7 September 2025 pukul sekian menit, bulan akan memerah selama 82 menit dengan presisi yang akurat.
Baca juga: Catatan Cak AT: Jaksa Menggali, Saksi Menyangkal
Tapi, di lapangan, manusia sering lebih sibuk bertengkar soal bagaimana cara melihat bulan sabit pertama Ramadhan. Padahal, kalau gerhana bisa diprediksi 80 tahun sebelumnya, kenapa hilal yang cuma muncul tipis dua derajat di ufuk masih jadi bahan debat tahunan?
Hisab berkata: "Percayalah pada matematika! Bulan pasti sudah lahir jam sekian, menit sekian." Rukyat membalas: "Tapi kalau tidak kelihatan, bagaimana bisa sah? Kita bukan NASA, kita umat." Lalu muncul pihak ketiga, gabungan: "Mari kompromi! Hitung iya, lihat juga iya."
Hasilnya? Lebaran sering dobel shift: sebagian sudah takbir, sebagian masih sahur. Bulan sabit yang tak pernah meninggalkan tempat edarnya pun merasa bingung: "Saya sebenarnya sudah nongol atau belum sih?"
Fenomena Blood Moon memberi kita pelajaran ironis: langit tunduk pada hukum fisika, bukan pada perdebatan manusia. Atmosfer bumi menyaring cahaya, jadilah bulan merah. Tidak ada voting, tidak ada sidang isbat, tidak ada ormas berbeda pandangan. Semuanya serentak, universal, kosmik.
Baca juga: IQ Anak Bisa Turun Gegara Kekurangan Zat Besi
Kalau soal hitung-menghitung gerhana, kuasanya tidak berada di ormas, kementerian, apalagi dukun kampung. Ia dipegang oleh badan astronomi internasional seperti NASA, European Southern Observatory, atau lembaga-lembaga riset astronomi nasional di tiap negara.
Mereka mengandalkan perhitungan mekanika langit —cabang ilmu yang sudah mapan sejak Newton menjatuhkan apel. Posisi Matahari, Bumi, dan Bulan dimodelkan dengan persamaan diferensial rumit, ditambah data pengamatan satelit yang presisi hingga milidetik busur.
Dari sana, jadwal gerhana bisa dipublikasikan ratusan tahun ke depan, tanpa takut salah ketuk kalender. Cara kerjanya sederhana tapi menakjubkan: gerakan benda langit dianggap sistem yang taat hukum gravitasi. Semua posisi bisa dihitung dengan algoritma.
Jadi, kalender gerhana 2100 bukanlah "ramalan", melainkan hasil simulasi fisika. Bedanya dengan prediksi cuaca? Kalau hujan masih bisa meleset karena awan bandel, bulan dan matahari tidak bisa iseng tiba-tiba berhenti di jalur orbit.
Baca juga: Simon Kesal Mees Hilgers Tak Gabung Timnas Indonesia di FIFA Match Day
Namun, di balik kepastian sains, masyarakat juga menenun adatnya sendiri. Di Jawa, gerhana dulu dianggap tanda gaib, bahkan ada upacara slametan atau gamelan dimainkan untuk "mengusir Batara Kala" yang dianggap menelan bulan.
Di Eropa abad pertengahan, gerhana merah kerap ditafsirkan sebagai pertanda perang atau bencana. Baru setelah ilmu astronomi berkembang, tafsir kosmik itu bergeser menjadi tontonan edukatif: bukan malapetaka, tapi festival langit.
Teori ilmiahnya jelas: cahaya merah adalah hasil hamburan Rayleigh, fenomena yang sama membuat langit sore berwarna jingga. Jadi, bulan tidak berdarah, tidak pula kena santet kosmik. Ia hanya sedang memakai "lipstik atmosfer" bumi.
Di balik romantisme dan mitologi, gerhana bulan total kini juga jadi laboratorium alam yang disediakan gratis oleh semesta. Para ilmuwan atmosfer memanfaatkan momen _Blood Moon_ untuk meneliti kondisi lapisan udara bumi.
Baca juga: Kasokandel: Legenda Leluhur, Pusaka Berdarah, dan Pertarungan dengan Industri
Cahaya merah yang sampai ke permukaan bulan sebenarnya adalah "sidik jari" atmosfer kita: ia membawa informasi tentang partikel debu vulkanik, polusi, bahkan kadar uap air. Inilah yang disebut dalam kitab suci sebagai "ayat-ayat" Tuhan.
Misalnya, riset yang dipublikasikan di Geophysical Research Letters (2019) menunjukkan bahwa kecerahan warna merah bulan selama gerhana bisa dipakai untuk mengukur dampak letusan gunung berapi terhadap atmosfer global.
Bahkan NASA sempat menggunakan data dari gerhana untuk menguji metode _transmission spectroscopy_ —teknik yang kelak dipakai mencari tanda-tanda kehidupan di planet ekstrasurya. Dengan kata lain, bulan merah bukan hanya tontonan, tapi juga "simulator kosmik" bagi pencarian dunia lain.
Fenomena ini juga menjadi ajang kolaborasi antara astronom profesional dan pengamat ...