Jaja Jamaludin
Eduaksi | 2025-09-03 22:14:58
Di ruang akademik Indonesia, publikasi ilmiah kini ibarat paspor yang wajib dimiliki dosen dan peneliti. Jurnal terindeks nasional seperti Sinta 1–6 hingga jurnal internasional bereputasi seperti Scopus dan Web of Science (WoS) menjadi arena perlombaan. Namun, di balik gengsi indeksasi itu, muncul fenomena maraknya bisnis penerbitan artikel yang justru memunculkan banyak persoalan serius.
Kualitas Ilmiah Menurun
Baik di jurnal Sinta maupun Scopus/WoS, kualitas tulisan seharusnya diukur dari orisinalitas, novelty, dan kontribusi nyata. Sayangnya, banyak artikel lahir bukan dari semangat riset, melainkan kejar target administratif. Artikel diproduksi massal, terkadang hanya modifikasi kecil dari penelitian lama. Akibatnya, jurnal yang seharusnya menjadi gudang ilmu, berubah menjadi etalase formalitas.
Peer Review yang Longgar
Peer review adalah pagar mutu sebuah jurnal. Tetapi ketika logika bisnis masuk, pagar itu mulai rapuh. Beberapa jurnal Sinta melonggarkan seleksi demi kejar terbitan cepat. Sementara di Scopus dan WoS, marak kasus jurnal predator yang hanya berlabel internasional, namun proses review-nya serba instan. Ironisnya, banyak akademisi terjebak karena lebih peduli pada “label bereputasi” ketimbang kualitas isi.
Ghostwriting dan Joki Artikel
Tak hanya di level nasional, jasa penulisan artikel dan “paket publikasi” kini merambah ke jurnal Scopus dan WoS. Dengan tarif jutaan hingga puluhan juta rupiah, seseorang bisa membeli artikel jadi lengkap dengan slot publikasi. Fenomena ghostwriting ini menghancurkan integritas akademik, karena artikel yang terbit sering bukan karya asli penulis, melainkan hasil outsourcing.
Komersialisasi Berlebihan
Biaya publikasi kini kian mencekik. Di Sinta, penulis sering harus merogoh ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Di Scopus dan WoS, biaya bisa melonjak hingga ribuan dolar. Bagi dosen atau mahasiswa yang punya dana, publikasi hanyalah soal transaksi. Sebaliknya, peneliti yang berkualitas tapi minim anggaran terpinggirkan. Akhirnya, ilmu pengetahuan pun tunduk pada logika kapital.
Distorsi Tujuan Akademik
Di atas semua itu, tujuan publikasi mulai kehilangan makna. Artikel bukan lagi sarana menyebarkan pengetahuan, melainkan sekadar tiket kenaikan pangkat, sertifikasi dosen, atau akreditasi kampus. Jurnal Scopus dan WoS pun sering dijadikan “ajang prestise instan” oleh perguruan tinggi untuk mendongkrak ranking internasional. Pertanyaan besarnya: apakah publikasi masih untuk ilmu, atau sudah sepenuhnya jadi komoditas dagang?
Kini, wajah publikasi ilmiah menghadapi dilema besar. Di satu sisi, jurnal bereputasi memang dibutuhkan untuk mengukur kinerja akademisi. Namun, ketika bisnis dan formalitas lebih dominan daripada kualitas dan integritas, publikasi justru kehilangan ruhnya. Dunia akademik pun harus menjawab tantangan ini: apakah kita akan terus menulis demi ilmu, atau sekadar membeli tiket untuk status?

Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.