
KPK protes dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang mengatur larangan bepergian ke luar negeri hanya berlaku untuk tersangka.
Ketentuan itu berbeda dengan aturan di UU KPK. Dalam UU KPK, lembaga antirasuah diberi kewenangan untuk mencegah seseorang bepergian ke luar negeri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a UU KPK.
"Di RKUHAP itu yang bisa dilakukan cekal adalah hanya tersangka. Namun, KPK berpandangan cekal tentunya tidak hanya dibutuhkan bagi tersangka saja, tapi bisa juga terhadap saksi ataupun pihak-pihak terkait lainnya," kata Budi kepada wartawan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (15/7).
Budi menjelaskan bahwa keberadaan pihak terkait di dalam negeri sangat penting dalam proses penyidikan, termasuk pemeriksaan.
"Karena esensi dari cekal itu adalah kebutuhan keberadaan dari yang bersangkutan untuk tetap di dalam negeri. Sehingga, ketika dilakukan proses-proses penyidikan dapat dilakukan lebih efektif," tutur Budi.
"Misalnya, dilakukan pemanggilan untuk pemeriksaan itu bisa segera dilakukan sehingga prosesnya juga bisa menjadi lebih cepat, efektif, dan tentu itu baik untuk semuanya," imbuhnya.
KPK juga menyampaikan sejumlah aturan dalam pasal di RKUHAP yang tak sinkron dan kontradiktif dengan UU KPK. Aturan tersebut di antaranya yakni terkait dengan penyadapan hingga kewenangan penyelidik KPK.
Terkait penyadapan, kata Budi, RUU KUHAP mengatur penyadapan dimulai pada saat penyidikan dan melalui izin pengadilan daerah setempat.
"Namun, penyadapan yang dilakukan oleh KPK selama ini telah dimulai sejak tahap penyelidikan dan tanpa izin pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, ya, di daerah setempat, di wilayah setempat," ujar Budi kepada wartawan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (14/7) kemarin.
Kendati demikian, Budi menekankan bahwa penyadapan yang dilakukan tetap dilaporkan kepada Dewan Pengawas (Dewas KPK).
"Namun, KPK tetap melaporkan kepada Dewan Pengawas dan penyadapan yang KPK lakukan itu selalu diaudit," kata Budi.
"Jadi, penyadapan ini dipastikan memang betul-betul untuk mendukung penanganan perkara di KPK," jelasnya.
Padahal, lanjut Budi, penyadapan merupakan upaya penting untuk mendapatkan informasi atau untuk menemukan setidaknya dua alat bukti oleh penyelidik KPK.
"Jika hanya diperbolehkan pada saat penyidikan, artinya kita tidak bisa melakukan penyadapan ketika tahap penyelidikan," kata dia.
"Padahal, penyadapan itu penting untuk mendapatkan informasi ataupun keterangan yang dibutuhkan oleh penyelidik dalam baik untuk menemukan peristiwa tindak pidana ataupun dalam konteks KPK untuk menemukan setidaknya atau sekurang-kurangnya dua alat bukti," terangnya.
Sementara itu, terkait dengan kewenangan penyelidik, Budi menyebut bahwa penyelidik KPK tidak hanya untuk menemukan peristiwa tindak pidana tetapi juga menemukan sedikitnya dua alat bukti.
"Sedangkan dalam pembahasan di RUU Hukum Acara Pidana, penyelidik hanya untuk mencari peristiwa tindak pidana," ucap dia.
"Artinya, kan, ada reduksi kewenangan dari penyelidiknya karena penyelidik dalam RUU KUHAP itu hanya berwenang untuk mencari peristiwa tindak pidananya. Sedangkan, penyelidik di KPK bahkan sampai ke untuk mencari sekurang-kurangnya dua alat bukti," pungkasnya.
Budi juga menuturkan bahwa KPK telah melakukan focus group discussion (FGD) dengan sejumlah pakar hukum untuk membahas implikasi rancangan KUHAP pada Kamis (10/7) kemarin.
Diskusi ini digelar lantaran ada sejumlah pasal dalam RKUHAP yang tak sinkron dengan UU KPK.
Budi menjelaskan bahwa para pakar hukum yang hadir mendukung adanya aturan khusus terkait penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Nantinya, kata dia, masukan dari para pakar tersebut akan menjadi bahan pengayaan bagi KPK untuk melakukan pembahasan di internal.