
KETUA Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jacklevyn Manuputty menyerukan kepada masyarakat agar tidak membiarkan amarah mengaburkan akal sehat. Hal itu disampaikan terkait demonstrasi yang terjadi di Jakarta dan beberapa daerah.
“Kita butuh ketenangan, bukan karena kita lemah, tapi karena kita ingin tuntutan-tuntutan kita dicapai dengan bermartabat. Mari jaga ruang perjuangan ini tetap bermoral, tetap beradab,” imbaunya dilansir dari keterangan resmi, Minggu (31/8).
Kepada para politisi, Pdt. Manuputty meminta untuk tidak menafsirkan kemarahan rakyat sebagai alat politik.
“Jangan pura-pura lupa, kemarahan rakyat bukan datang dari ruang kosong. Ia lahir dari janji-janji yang dikhianati, dari kebijakan yang menyakiti, dari kepemimpinan yang abai. Jangan mempolitisir luka yang kalian torehkan,” tegasnya.
Dia pun mengajak untuk membangun bangsa ini bukan dengan represi, tetapi refleksi. Bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keberanian untuk berubah. “Suara rakyat bukan untuk dibungkam, tetapi untuk didengar, dipahami, dan dijadikan arah,” imbuh dia.
Menyikapi aparat penegak hukum, Pdt. Manuputty mendorong untuk menangani peristiwa tragis yang berakibat meninggalnya pengemudi ojek secara jujur, transparan, dan mengesampingkan aspek impunitas. Menurutnya, bukan saja aparat penegak hukum, tetapi bangsa ini butuh keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya.
Ia juga menyampaikan rasa keprihatinan serta dukacita yang mendalam terhadap keluarga pengemudi ojek yang meninggal, dan juga kepada para anggota kepolisian yang menjadi korban dalam tugas pengamanan demonstrasi. Dia pun meminta untuk tidak melihat demontsrasi sebagai ancaman, karena ini adalah cermin dari kegelisahan yang tak lagi bisa ditahan, dari harapan yang terus-menerus diabaikan.
“Saya mengkritisi penanganan demonstrasi melalui kekerasan yang berlebihan oleh aparat keamanan. Alangkah pilu ketika suara-suara para demonstran itu dibalas dengan kekerasan. Ketika tangan yang seharusnya melindungi justru menindas. Ketika gas air mata serta meriam air menggantikan dialog, dan pentungan menggantikan empati. Kita tidak sedang menjaga ketertiban, kita sedang mengkhianati keadilan,” ungkapnya . (H-4)