
Koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto menarik militer dari wilayah dan urusan sipil, dengan mengembalikan TNI dalam fungsi konstitusionalnya, yakni sebagai alat pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara. Itu berarti TNI tak semestinya mengurusi masalah keamanan dalam negeri, apalagi menangani aksi massa.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, HRWG, Koalisi Perempuan Indonesia, Walhi, Centra Initiative, De Jure, Raksha Initiatives, PBHI, Setara Institute itu juga menuntut pembetukan tim pencari fakta independen untuk mengurai masalah ini secara terang benderang, guna memastikan akuntabilitas atas peristiwa yang terjadi.
"Tim tersebut perlu melibatkan tokoh-tokoh masyarakat sipil yang independen, untuk memastikan kredibilitas laporan akhirnya," kata Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi melalui keterangannya, Senin (8/9).
Salah satu tugas tim adalah mengurai informasi tentang dugaan keterlibatan militer dalam rangkaian peristiwa, yang berujung pada terjadinya gejolak sosial dan kekerasan, juga fakta-fakta lainnya yang terkait. Hal itu dinilai penting untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi sesungguhnya, sebagai bagian dari pemenuhan hak keadilan bagi korbannya.
Penting dicermati, kata Hendardi, peristiwa kekerasan yang terjadi baru-baru ini, tampak memiliki benang merah dengan peristiwa kekerasan di masa lalu, khususnya dari segi polanya. Oleh karenanya pembentukan tim tersebut menjadi penting dilakukan, untuk memastikan upaya negara dalam memberikan jaminan ketidakberulangan atas peristiwa kekerasan yang terjadi.
Adapun dinamika sosial beberapa waktu belakangan ini menyisakan duka dan sejumlah permasalahan. Sedikitnya 10 orang korban meninggal dunia akibat peristiwa kekerasan yang terjadi. Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi ketidakadilan sosial dan ekonomi yang mengakibatkan tingginya kesenjangan, sebagai dampak kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat; perilaku negatif sebagian elite; saluran dialog yang tersendat; dan dugaan kuatnya konflik politik di tingkat elite.
Keseluruhan akar persoalan itu memuncak pada meletupnya kemarahan massa dan gejolak sosial di beberapa wilayah, terutama akibat kekerasan eksesif kepolisian yang mengakibatkan jatuhnya korban meninggal, serta kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR.
Padahal dalam konteks demonstrasi damai, sebagai manifestasi dari kebebasan berekspresi, menjadi hal fundamental yang harus dilindungi, sebagaimana dijamin konstitusi. Tidak seharusnya kekerasan mewarnai penyampaian aspirasi masyarakat, sebagai bentuk kontrol terhadap penyelenggaraan negara.
"Sudah seharusnya negara melindungi ekspresi kebebasan itu, dan bukan malah melakukan tindakan represif yang bahkan berakibat jatuhnya korban jiwa. Tindakan eksesif negara itu perlu diproses hukum sesuai aturan hukum yang berlaku, guna memberikan keadilan bagi korban," terang Hendardi.
Selain itu, koalisi masyarakat sipil memandang dinamika kekinian masih menyisakan sejumlah pertanyaan publik, khususnya terkait dengan adanya dugaan keterlibatan militer dalam gejolak sosial yang terjadi. Dalam beberapa dokumentasi foto dan video yang beredar menyebutkan militer diduga terlibat dalam gejolak sosial yang diwarnai kekerasan dan pengrusakan.
Meski pada sisi yang lain, Mabes TNI telah membantah keterlibatan anggota TNI, khususnya anggota BAIS, dalam kerusuhan dan kekerasan yang terjadi. Menurut Wakil Panglima TNI, memang ada anggota TNI di lapangan, tetapi mereka ditugaskan untuk pengamanan, dan bukan untuk melakukan provokasi kerusuhan dan pengrusakan.
"Namun demikian, kami menilai keterlibatan BAIS di lapangan bersama massa aksi, adalah tindakan yang salah dan keliru," tutur Hendardi.
Sebagai institusi intelijen militer, lanjutnya, seharusnya BAIS bekerja untuk mendukung TNI sebagai alat pertahanan dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Dengan kapasitas mereka sebagai intelijen tempur, bukan tugas BAIS untuk terlibat menangani aksi unjuk rasa, atau sekadar ada di lapangan bersama massa demonstran. (E-3)