Dhama Maulana
Sastra | 2025-09-06 02:08:24

Langit Amsterdam sore itu tampak kelabu, seolah ikut merasakan hati Aziz yang sedang diliputi kegelisahan. Di balik tumpukan jurnal dan laptop yang menyala, pikirannya tak lagi fokus pada pembelajarannya di kelas, Sudah dua minggu ia tidak mendengar kabar dari Ibu Salma, ibunya di kampung halaman. Biasanya, meski hanya pesan singkat, ibunya tak pernah absen mengirim doa dan semangat. Tapi kali ini, layar ponselnya kosong, dan itu membuat dada Aziz terasa sesak.
“Hé Aziz! Luister je niet naar me? Ga nu uit mijn les, ik wil je deze week niet zien”. (hei Aziz! kau tidak mendengarkanku? sekarang pergi dari kelasku, aku tidak ingin melihatmu pekan ini). Ucap prof. Diderik memecah lamunan Aziz di kelas dan langsung pergi meninggalkan kelas.
Aziz duduk termenung di halte tram, menatap kosong ke arah jalanan yang basah oleh hujan ringan. Suara Prof. Diderik masih terngiang di telinganya, tapi yang lebih mengganggu adalah suara hatinya sendiri. Ia teringat masa-masa sebelum keberangkatannya ke Belanda, saat ia dan ibunya duduk berdua di ruang tamu kecil yang hanya diterangi lampu gantung tua. Malam itu, Ibu Salma menyuguhkan teh hangat dan berkata
“Nak, Ibu nggak punya apa apa buat bekal kamu ke sana. Tapi Ibu punya doa, dan itu nggak akan pernah berhenti.” Ucap bu Salmah kepada anaknya sebelum ia berangkat melanjutkan studinya ke Belanda
Malam itu adalah malam yang penuh haru. Aziz memeluk ibunya erat, merasakan tubuh yang mulai rapuh namun tetap hangat. Ia ingat betul bagaimana ibunya menyembunyikan air mata di balik senyum, saat melepas anaknya pergi ke negeri jauh demi mimpi yang besar.
“Kalau kamu sukses nanti, jangan lupa pulang ya, Nak. Ibu nggak butuh apa-apa, cuma pengen lihat kamu bahagia,” ucapnya pelan. Aziz mengangguk, berjanji dalam hati bahwa ia akan membalas semua pengorbanan itu.
Kini ia hanya bisa mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa mungkin ibunya hanya sibuk atau lupa mengisi pulsa. Namun, rasa khawatir itu tak bisa dibendung. Di negeri orang, dengan jarak ribuan kilometer dari rumah, Aziz merasa kecil dan tak berdaya. Ia teringat janji yang pernah ia tulis di secarik kertas bertahun lalu “Jangan pernah mengecewakan setiap keringat Ibu yaa.”
Beberapa hari setelah kejadian di kelas, ketika Aziz sedang perjalanan pulang dari kampus menuju apartmentnya, ia di panggil oleh tetangganya yang Bernama Arnoud
“Bro, net kwam er een postbode naar me toe om het aan je te geven” (bro, tadi ada tukang pos datang kepadaku untuk memberikannya kepadamu) ucap tetangganya kepada Aziz sembari membuka tas dan memberikan surat itu kepada Aziz
“Dank je wel bro, als ik vragen mag, waar is deze brief vandaan?” (terimakasih bro, kalau boleh tau ini surat dari mana?) ucap Aziz kepada Arnoud karena ia bingung
“Ik weet het niet, misschien uit Indonesië. De postbode vertelde me dat” (entahlah, mungkin dari indonesia. pak pos memberitahukannya seperti itu) balas Arnoud
“Oké, bedankt” (baiklah, terimasih) ucap Aziz sambil pergi ke apartmennya
Aziz menerima sebuah amplop lusuh yang dikirim dari Indonesia yang di titipkan tukang pos kepada temannya. Ia sempat bingung, siapa yang masih mengirim surat di zaman serba digital ini? Namun saat melihat nama pengirimnya, “Bu Rini Semanggi II”, jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar saat membuka surat itu, dan matanya langsung tertuju pada baris pertama.
Aziz, Nak Maaf Ibu Rini harus menyampaikan ini lewat surat. Ibumu, Bu Salma, sudah dua bulan terakhir sering sakit-sakitan. Tapi beliau selalu bilang, ‘Jangan kasih tahu Aziz, biar dia fokus belajar.’ Sekarang kondisinya makin lemah, dan kami khawatir
Isi surat itu membuat Aziz berdetak dengan, Aziz tak sanggup membaca lebih jauh. Surat itu jatuh ke lantai, dan ia hanya bisa menatap kosong ke luar jendela apartemennya. Hatinya seperti diremas. Ia merasa seperti anak durhaka,terlalu sibuk mengejar gelar, hingga lupa bahwa waktu bersama ibu tak bisa diulang. Ia berdiri, mengambil ponsel, dan memesan tiket pulang tanpa pikir panjang. Kali ini, ia tak peduli pada riset, nilai, atau gelar. Ia hanya ingin pulang. Pulang untuk ibunya.
Aziz menatap layar laptopnya dengan mata yang mulai memerah, jantungnya berdegup tak karuan. Ia sudah memilih tanggal, maskapai, dan rute tercepat menuju Indonesia sebuah perjalanan yang ia harap bisa menjadi pelarian dari rasa bersalah yang mulai menghantuinya. Namun saat hendak menyelesaikan pembayaran, muncul notifikasi dari sistem kampus yang terasa seperti tamparan keras
Mahasiswa penerima beasiswa penuh tidak diizinkan meninggalkan negara studi sebelum menyelesaikan program, kecuali dalam keadaan darurat yang telah disetujui oleh pihak sponsor dan pemerintah.
Aziz membeku. Dunia seolah berhenti berputar. Ia mencoba menghubungi pihak kampus, lalu kedutaan, berharap ada celah, ada belas kasih. Namun jawabannya sama saja ia harus menyelesaikan studinya terlebih dahulu.
“Kami memahami kekhawatiran Anda, tetapi aturan ini bersifat ketat dan tidak bisa dinegosiasikan,” ucap petugas dengan nada formal yang dingin, seolah tak menyisakan ruang bagi rasa kemanusiaan.
Aziz menutup telepon dengan tangan gemetar, matanya kosong menatap dinding kamar yang kini terasa sempit dan menyesakkan. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia satu yang menuntutnya untuk sukses demi masa depan, dan satu lagi yang memanggilnya pulang dengan air mata dan doa yang mungkin tak sempat terkabul. Di kamar kecil itu, ia duduk di lantai, memeluk lututnya, mencoba menahan tangis yang tak lagi bisa dibendung. Ia teringat wajah ibunya, senyum yang selalu ia rindukan, dan suara lembut yang dulu berkata, Nak, Ibu nggak butuh apa-apa, cuma pengen lihat kamu bahagia. Kini, kebahagiaan itu terasa jauh, dan Aziz hanya bisa berbisik lirih, dengan suara yang nyaris patah, “Ma kamu sembuh kan?” ucap Aziz dengan nada gontai
Beberapa hari berlalu sejak surat dari Bu Rini tiba, namun perasaan Aziz tak kunjung membaik. Ia kembali ke kampus, mencoba menjalani rutinitas seperti biasa, tapi langkahnya terasa berat dan pikirannya tak lagi utuh. Di kelas, ia duduk di barisan tengah, namun matanya tak pernah benar-benar menatap papan tulis. Suara dosen hanya menjadi gema samar di telinganya, tenggelam oleh suara hatinya yang terus bertanya Bagaimana keadaan Ibu sekarang? Apakah ia masih bisa berdiri? Masih bisa tersenyum? Lamunan itu begitu dalam hingga ia tak menyadari bahwa Prof. Diderik sudah berdiri tepat di depannya.
“Hé Aziz! Luister je niet naar me?” ucap sang profesor dengan nada tajam, membuat seluruh kelas menoleh. Aziz tersentak, matanya langsung menatap ke depan dengan gugup. “Ga nu uit mijn les, ik wil je deze week niet zien.” (Sekarang pergi dari kelasku, aku tidak ingin melihatmu pekan ini.)
Aziz hanya mengangguk pelan, mengemasi barang-barangnya tanpa berkata sepatah kata pun. Ia melangkah keluar dengan kepala tertunduk, merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Namun sebelum ia benar-benar meninggalkan gedung kampus, seorang asisten dosen menghampirinya dan berkata, “Prof. Diderik ingin bicara denganmu setelah kelas selesai. Katanya penting.” Aziz hanya mengangguk lagi, kali ini dengan rasa cemas yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu, mungkin waktunya telah tiba untuk menjelaskan semuanya tentang ibunya, tentang rasa bersalah, dan tentang mimpi yang kini terasa seperti beban.
Sore itu, setelah kelas berakhir dan kampus mulai sepi, Aziz melangkah pelan menuju ruang tempat Prof. Diderik menunggunya. Langkahnya terasa berat, bukan karena lelah fisik, tapi karena beban batin yang tak kunjung reda. Ia tak tahu harus berkata apa, tak tahu apakah profesor itu akan memahami apa yang sedang ia rasakan. Saat pintu diketuk, suara berat dari dalam menyuruhnya masuk. Prof. Diderik duduk di balik meja kerjanya, menatap Aziz dengan sorot mata yang tak lagi tajam seperti di kelas tadi.
“Aziz, duduklah,” ucapnya pelan, berbeda dari nada biasanya. Aziz duduk dengan gugup, menunduk, dan mencoba menahan gejolak emosi yang sudah mengendap berhari-hari.
“Saya tahu kamu bukan mahasiswa yang malas atau tidak peduli. Tapi akhir-akhir ini kamu seperti orang yang hilang arah. Ada apa?” tanya sang profesor, kali ini dengan nada yang lebih manusiawi.
Aziz terdiam sejenak, lalu mulai bercerita tentang surat dari kampung, tentang ibunya yang sakit, tentang larangan pulang dari pihak kampus dan sponsor. Kata-kata itu keluar perlahan, diselingi jeda panjang dan suara yang bergetar. Prof. Diderik mendengarkan dengan tenang, sesekali mengangguk, dan akhirnya berkata,
“Weet je, Aziz... soms is de academische wereld te rigide om de meest menselijke dingen te begrijpen. Maar je bent hier tenslotte gekomen vanwege je moeder, en nu moet je weg omdat je moeder niet je buurvrouw is“(Kamu tahu, Aziz kadang dunia...