PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengungkapkan penyelesaian dua proyek smelter high-pressure acid leaching (HPAL) di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, dan Morowali, Sulawesi Tengah, pada kuartal IV 2026.
Proyek ini menjadi bagian dari strategi hilirisasi dan pengembangan industri nikel terintegrasi yang digarap bersama sejumlah mitra strategis.
Manajer Corporation Finance & Investor Relations Vale Indonesia, Andaru Brahmono Adi, mengatakan proyek smelter HPAL Pomalaa akan selesai pada kuartal IV 2026, bersamaan dengan penyelesaian tambang di wilayah tersebut yang ditargetkan rampung lebih awal.
“Pomalaa HPAL itu akan selesai di Q4 2026. Jadi nanti pas banget waktunya. Tambang Pomalaa akan selesai tahun depan di kuartal kedua (2026). Sementara HPAL akan selesai di kuartal keempat tahun 2026. Jadi sudah siap satu rangkaian integrasi,” ujarnya.
Meski harga nikel saat ini tengah terkoreksi, Vale bersama para mitra seperti Zhejiang Huayou Cobalt Co (Huayou) tetap berkomitmen melanjutkan proyek sambil menyesuaikan aspek keekonomian.
“Kalau kita lihat dengan harga nikel yang sedang terkoreksi sekarang ini, itu memang berpengaruh pada nilai return di levelnya smelter HPAL. Tapi kami sepakat, kami dengan para partner, contohnya Huayou, kita sepakat untuk melakukan improvisasi,” jelas Andaru.
Improvisasi tersebut ditujukan untuk menekan nilai belanja modal (capital expenditure/capex) agar lebih efisien. Andaru menyebut, Huayou dan GEM Co Ltd terbuka terhadap peningkatan efisiensi dan pengembangan teknologi.
“Karena mereka sadar supaya kita bisa bertahan, proyek ini bisa berhasil adalah caranya dengan melakukan improvisasi teknologi, efisiensi biaya, segala macam. Dan mereka sepakat semua,” katanya.
Andaru mengakui, meskipun ada potensi penyesuaian nilai investasi, hal tersebut merupakan hasil dari pendekatan efisiensi berbasis teknologi yang dilakukan oleh para mitra teknologi Vale.
“Kalau dibilang mungkin investasi iya. Tapi awalnya dari improvisasi atau improvement di teknologi. Jadi itu yang dikerjakan oleh partner teknologi kita seperti Huayou dan GEM Co Ltd. Jadi mereka melakukan improvement dari sisi teknologi sehingga capex-nya bisa turun. Ujung-ujungnya nilai keekonomisannya pun bisa lebih tinggi,” terangnya.
Untuk menjaga kinerja di tengah tekanan harga nikel global, Vale mengandalkan tiga strategi utama, yakni efisiensi biaya, diversifikasi produk, dan penyesuaian investasi.
“Yang bisa kita lakukan adalah melakukan efisiensi biaya. Itu yang sudah kita lakukan sejak akhir tahun lalu hingga sekarang. Masih terus melakukan itu,” kata Andaru.
Dia melanjutkan, Vale juga mulai melakukan penjualan produk nikel selain nikel matte untuk pasar domestik, sebagai bagian dari diversifikasi.
“Selama 50 tahun terakhir kita hanya jualan nikel matte ekspor ke Jepang. Tapi alhamdulillah mulai tahun ini kita bisa melakukan penjualan nikel ore suprolite untuk pertama kalinya secara domestik. Itu bisa menambah revenue untuk kita,” ujarnya.
Perusahaan juga meninjau kembali anggaran investasi untuk memastikan efisiensi tetap terjaga. Andaru memperkirakan, target laba tahun ini masih dapat dicapai meski harga nikel turun sekitar 15 persen dari tahun 2024.
Sebelumnya, Pada Maret 2025, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) memastikan dua proyek smelter terintegrasi pertambangan nikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, Morowali di Sulawesi Tengah (Sulteng), rampung secepatnya di tahun 2026.