
Studi Demokrasi Rakyat (SDR) menilai masa berlaku KUHP baru pada Januari 2026 menyisakan waktu yang sangat singkat, kurang dari enam bulan, sehingga pembahasan RUU KUHAP harus dipercepat. Direktur Eksekutif SDR, Hari Purwanto, menegaskan revisi KUHAP penting dilakukan karena regulasi yang berlaku saat ini, UU No. 8 Tahun 1981, sudah berusia lebih dari 40 tahun dan tidak mampu mengikuti perkembangan hukum, teknologi, maupun kebutuhan perlindungan HAM.
“Pembaruan KUHAP sangat mendesak agar sistem peradilan pidana lebih adaptif, akuntabel, dan sesuai standar internasional. Namun jangan sampai waktu yang terbatas membuka peluang infiltrasi kepentingan oligarki dalam pembahasan RUU ini,” ujar Hari dalam pernyataan sikap di Jakarta, Rabu (3/9).
SDR selama ini aktif memantau perkembangan pembahasan RUU, memberi masukan tentang hukum acara pidana yang sesuai konstitusi dan HAM, sekaligus melakukan advokasi melalui sosialisasi publik. Tujuannya, agar masyarakat sejak dini memahami hak-haknya dan menjadi jembatan informasi antara parlemen dengan masyarakat.
Hari menekankan isu kewenangan penyidikan harus dicermati serius karena berpotensi menimbulkan friksi antar aparat penegak hukum. Menurutnya, jika peran penyidik utama hanya diberikan kepada Polri, itu bisa menimbulkan kesenjangan dengan Kejaksaan dan KPK yang selama ini juga berwenang menangani perkara korupsi. Padahal, secara statistik, capaian penyidikan Kejaksaan dan KPK jauh melampaui Polri, baik dari segi jumlah maupun kualitas kasus.
“Jika kewenangan Kejaksaan dan KPK dicabut, ruang intervensi oligarki terbuka lebar. Solusinya, Polri bisa menjadi penyidik utama, tetapi kewenangan pra-penuntutan jaksa harus diperkuat agar ada kontrol lebih ketat. Selain itu, perlu mekanisme transisi agar perkara yang sedang ditangani Kejaksaan dan KPK tidak otomatis gugur,” tegasnya.
Melalui sikap resminya, SDR menyampaikan lima poin:
- Mendukung pembahasan RUU KUHAP dengan mekanisme konstitusional serta pelibatan masyarakat sipil yang lebih luas.
- Mengingatkan DPR agar tidak menyusun KUHAP secara terburu-buru dan asal-asalan.
- Mengingatkan DPR dan Presiden tentang potensi intervensi oligarki dan koruptor dalam proses pembahasan.
- Memperingatkan pihak-pihak yang mencoba melakukan infiltrasi karena dapat merusak tatanan hukum nasional.
- Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk aktif mengawasi agar RUU KUHAP tidak disusupi pasal yang merugikan rakyat.