
JURNALIS harus membayar lunas privilege yang diberikan masyarakat luas dengan memberikan informasi yang bermanfaat buat publik. Hal tersebut disampaikan Jamalul Insan dalam kelas daring pelatihan jurnalistik bagi 13 wartawan terpilih dari seluruh Indonesia dalam Journalism Fellowship On CSR 2025 batch II hasil kolaborasi Tower Bersama Grup (TBIG) dan Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) pada Kamis (4/9/2025).
Pada sesi kelas dengan narasumber, Jamalul Insan, mantan pemimpin redaksi Sindonews dan MNC News, mengatakan saat ini banyak orang telah merasa menjadi reporter sebagai content producer. Kondisi ini membuat semua peristiwa atau kejadian langsung di-report atau dimasukkan ke media sosial tanpa proses pengolahan seperti dalam media jurnalistik. Ini akan berimbas bila hal tersebut ditunggangi atau dipakai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi tidak sesui fakta atau hoaks.
Munurut Jamalul, selalu ada proses dalam jurnalistik dalam menyebarkan visual yang harus tetap berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. "Kita enggak mungkin menyebar, misalnya visual sadis yang memang secara kode etik juga dilarang. Kalau di TV itu namanya P3SPS, pedoman penyiaran yang dikeluarkan oleh KPI itu. Jelas enggak boleh ada visual anak anak yang ikut misalnya kalau di media sosial tuh dihajar saja. Di TV enggak mungkin itu kita lakukan," ungkapnya.
Masalah etik
Senada dengan Jamalul, Direktur GWPP Nurcholis MA Basyari, mantan jurnalis di Media Indonesia, mengungkapkan masalah etik itu bukan hanya kita mampu membedakan yang seharusnya dilakukan atau tidak. Namun alasan di balik itu, itulah yang membedakan wartawan dengan bukan wartawan.
Menurut Nurcholis, secara umum, wartawan, baik cetak maupun elektronik, terikat dengan sebelas pasal dalam kode etik jurnalistik. Sedangkan secara spesifik, untuk televisi ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dan media siber ada Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS). pedoman ini yang membedakan wartawan dengan orang pada umumnya atau uploder media sosial.
"Itu yang membedakan dan pembeda itu akan membuat kita akan dirindukan. Kompas akan tetap mendapatkan simpati pembaca karena tetap pada sikap Kompas-nya sama seperti dikenal orang selama ini. Kalau Kompas meninggalkan itu jati dirinya, tinggal tunggu waktu saja. Apa bedanya dengan medsos jelas lebih simpel," ucapnya.
Informasi yang dibutuhkan publik
Jamalul Insan dalam kelas pelatihan juga mengatakan jurnalisme atau seorang jurnalis harus mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan publik, sehingga publik mampu dan mengatur dirinya sendiri. "Setiap keluar rumah setuipa jurnalis harus bertanya kepada dirinya yang harus saya lakukan. Kita harus menyediakan informasi kepada publik," ungkap Jamal, mantan anggota Dewan Pers tahun 2019-2022.
Menurut Jamalul, dalam jurnalis bekerja bukan hanya menyajikan liputan berdasarkan kesukaan pada topik tertentu tetapi penting menyajikan liputan itu sangat dibutuhkan publik. Hal ini karena jurnalis mendapatkan previlege lebih dari masyarakat atau publik seperti akses tak terbatas pada sumber-sumber informasi. Dengan demikian perlu untuk membayar kembali privilege itu dengan informasi publik yang bermanfaat.
"Privilege lebih, salah satunya adalah akses yang kita dapat dari masyakarat, kita bisa setiap saat mengakses pusat informasi pada setiap saat seperti gubernur, bupati. Akses ini tidak diberikan ke profesi lain. Sebagai bayarannya harus memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Ada direktur misalnya di Sidoarjo enggak mudah ketemu bupati, harus diatur dulu oleh protokol. Namun kawan-kawan bisa doorstop. Itu salah satu privilege. Bahkan presiden yang bisa doorstop cuma jurnalis," kata mantan sekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) itu.
Ide mata uang wartawan
Sedangkan Frans Surdiasis salah satu narasumber dalam pelatihan itu mengungkapkan ide sebagai mata uangnya wartawan. Tidak punya ide seperti juga tidak punya sesuatu yang bisa ditukarkan. Ide sebagai garansi buat wartawan.
Jurnalisme itu selalu dimulai dengan ide, generating story ideas itu aspek yang paling penting di dalam seluruh kerja kewartawanan.
"Tadi misalnya Pak Jamal bicara tentang video story telling. Video story telling paling tidak dia punya dua aspek. Anda harus punya cerita yang jadi. Kalau tidak punya cerita, tidak akan ada yang bisa dibagi dan cerita itu harus powerful," katanya.
Frans juga menambahkan pada poin kedua perlu ditekankan soal etika kewartawanan. Etik sebetulnya logical reasoning dianggap sebagai salah satu cabang filsafat. Etik adalah kemampuan berpikir yang membawa kita pada kesimpulan apakah sesuatu itu benar untuk dilakukan atau salah untuk dihindari. Apakah sesuatu itu baik untuk dilakukan dan buruk karena itu harus dihindari.
"Jadi yang muncul di dalam kode etik itu sebetulnya hasil penalaran. Jadi yang selalu harus kita pahami. Itu bangunan berpikir di baliknya? Mengapa wartawan mesti memperkenalkan diri ketika melakukan tugasnya atau mengapa wartawan harus menekan betul akurasi dan bangunan berpikir itulah yang kemudian dirumuskan dalam kode etik," urai Frans.
Etika punya dua aspek
Bagi Frans, etika itu selalu punya dua aspek. Selain kemampuan kita untuk mengenali yang baik, mengenali yang benar, tetapi pada saat yang sama kita harus memilih yang baik dan bukan memilih yang buruk, memilih yang benar bukan yang salah.
Jadi meskipun lingkungan di sekitar kita itu memilih yang buruk secara etik kita tetap punya kewajiban memilih yang baik. "Jadi bukan kita yang men-downgrade kualitas kita. Kalau bisa, kita yang mengangkat orang yang sebetulnya praktiknya buruk menjadi baik. Itu sebetulnya arah kita. Kalau media juga ikut-ikutan menjadi buruk, sebagai pilar keempat penopang masyarakat politik kita, demokrasi kita ambruk. Itu saya kira sangat penting etik itu sebagai fondasi kerja atau wartawan," pungkas Frans, pria asal Flores ini.
Para jurnalis akan mengikuti kelas sebanyak 12 kali selama September hingga Oktober nanti. Tidak hanya sesi kelas, para jurnalis juga akan melakukan praktik sesuai materi pelatihan yang sudah diberikan berdasarkan tema-tema yang nanti disiapkan narasumber. (I-2)