Kebijakan pemerintah: kantong plastik dilarang. Haram hukumnya. Berbahaya! Kantong plastik itu merusak lingkungan, mengganggu ekosistem laut, menciptakan polusi udara, menjadi gangguan kesehatan bagi manusia, dan alasan-alasan lainnya.
Melalui peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan wali kota, kantong belanja berbahan plastik resmi dilarang. Semua harus beralih ke kantong ramah lingkungan. Kantong belanja berbahan kertas, kain, atau sejenisnya. Gratis? Tidak.
Kecuali di warung-warung kecil, kantong plastik masih dipakai. Gratis. Tanpa kantong plastik, warung gak laku. Pembeli pada lari.
Minimarket, supermarket, dan restoran, dulu menyediakan kantong plastik dan disiapkan oleh penjual.Gratis! Sekarang? Enggak boleh lagi. Otomatis, ini jadi penghematan. Minimarket, supermarket, dan restoran tak perlu menyiapkan budget untuk kantong belanja. Bayangkan, berapa penghematan minimarket, supermarket, dan restoran dengan tidak lagi menyediakan kantong plastik. Miliaran perhari. Ini penghematan yang luar biasa.
Sebagai gantinya, minimarket, supermarket, dan restoran menyediakan kantong dari bahan lainnya. Gratis? Tidak! Bayar bro! Berapa harganya? Rp2.000 hingga Rp5.000. Bahkan bisa lebih dari itu. Ini menjadi peluang bisnis baru bagi minimarket, supermarket dan restoran.
Bayangkan, berapa juta perhari mereka bisa jual kantong belanja dari bahan non plastik itu? Minimarket, supermarket, dan restoran punya ribuan gerai. Jika Rp5.000 dikalikan 2 juta kantong belanja yang terjual setiap hari, maka omzet mencapai Rp10 Miliar. Ini hitungan perhari. Berapa perbulan dan berapa per tahun pendapatan mereka dari kantong belanja saja? Triliunan bro.
Pada akhirnya, kebijakan itu memang untuk para pengusaha besar. Lagi-lagi, rakyat kecil yang dikorbankan. Sebagai konsumen, rakyat kecil harus mengeluarkan budget tambahan untuk biaya buat kantong belanja. Sudah pajak dibebankan kepada konsumen, ditambah kantong belanja. Memang, berat jadi rakyat kecil itu. Jadi tempat para kapitalis memeras dengan dukungan kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah daerah.
Tidak kaget. Enggak perlu heran juga. Sudah jadi karakternya, bahwa penguasa, termasuk penguasa wilayah, selalu berada di belakang pengusaha besar. Tepatnya: kapitalis. Kebijakan penguasa selalu melayani keserakahan para kapitalis, begitu kata Karl Marx, filsuf German pendiri Marxisme. Para kapitalis inilah yang saat pemilu menjadi menyokong biaya kampanye.
Penguasa dan kapitalis berada dalam kelas yang sama. Sama-sama menindas rakyat kecil. Jalurnya kebijakan.
Di sisi lain, rakyat kecil terus dibiarkan miskin dan bodoh. Rakyat disuap dengan uang Rp100 ribu saat kampanye. Selesai pemilu, rakyat diperas melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Mereka ambil kembali uang yang diberikan kepada rakyat saat pemilu.
Uang itu diberikan kepada para kapitalis yang pernah menyumbang biaya kampanye. Salah satu cara pengembalian uang kampanye itu dengan membeli kantong belanja. Ini cara yang brilian, halus, nyaris tak pernah disadari oleh rakyat kecil yang diperas.
Pengembalian rakyat kepada para penyumbang kampanye nilainya lebih besar. Selama setahun, budget anda untuk beli kantong belanja pasti lebih besar dari uang yang anda terima saat musim pemilu. Benar bukan?
Beli kantong belanja tidak wajib. Betul ! Anda pernah pikirkan bagaimana rakyat kecil belanja tanpa kantong? Tangan mereka dua, terbatas untuk membawa barang belanjaan.
Kenapa para pembeli tidak bawa kantong belanja dari rumah? Ini pertanyaan mudah. Tapi, secara teknis ini susah. Sebab, tidak semua orang belanja itu punya rencana dari rumah. Ini "victim blaming". Cenderung menyalahkan korban.
Dalam posisi yang lemah, rakyat diam. Penguasa dengan para kapitalis telah secara organik menyiapkan orang-orang pintar dari kampus untuk membangun argumentasi pembelaan. Pembelaan di panggung depan, terlihat sangat meyakinkan.
Apalagi jika gelar di depannya adalah "profesor". Maklum, gaji dosen kecil. Tidak sedikit yang akhirnya harus mencari tambahan dari luar kampus. Inilah yang kata Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia, menyebutnya sebagai intelektual kelas.