
GELOMBANG aksi yang merebak sejak akhir Agustus 2025 dinilai mencerminkan krisis kepercayaan publik yang sudah berlangsung lama. Kebijakan fiskal hingga privilese politik dianggap tidak sejalan dengan rasa keadilan, sementara biaya hidup yang kian tinggi memperlebar jurang ketidakpuasan.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menilai eskalasi protes semakin diperparah oleh pola penanganan keamanan yang keras. Penggunaan gas air mata di area pendidikan, hingga adanya korban sipil yang meninggal, menimbulkan kemarahan publik dan memperkuat sentimen bahwa negara gagal hadir secara adil.
"Eskalasi aksi juga didorong oleh momen-momen tragis yang menggetarkan nurani publik. Meninggalnya warga sipil dalam konteks pengendalian massa menimbulkan gelombang empati dan kemarahan, yang kemudian beresonansi luas melalui kanal digital," ujar Andar dikutip dari keterangannya, Selasa (2/9).
Menurutnya, respons pemerintah yang lebih menonjolkan empati kepada aparat, tanpa langkah serius pada korban sipil, justru memperlebar jarak dengan masyarakat. Pemulihan kepercayaan publik, kata Andar, memerlukan mekanisme akuntabilitas yang jelas dan koreksi nyata atas kebijakan kontraproduktif.
Di ruang publik, berbagai kelompok masyarakat telah merumuskan tuntutan secara sistematis, antara lain dalam paket 17+8 tuntutan. Poin-poinnya mencakup penghentian kekerasan aparat, investigasi independen atas korban, pembatasan privilese politik, transparansi anggaran, hingga perbaikan kebijakan ekonomi yang menyentuh kebutuhan dasar warga.
Maarif Institute menekankan bahwa inti persoalan bukanlah isu identitas, melainkan masalah sosial, ekonomi, dan politik. "Indonesia dibangun di atas Pancasila dan kemanusiaan yang adil dan beradab; kekerasan dan kerusuhan bukanlah budaya kita," kata Andar.
Sebagai solusi, Maarif Institute mendorong sejumlah langkah strategis. Pertama, revisi sistem pemilu untuk mengurangi dominasi uang dan popularitas, termasuk audit real-time dana kampanye dan sanksi tegas terhadap politik uang. Kedua, pembudayaan kepolisian yang sipil, humanis, dan berbasis komunitas dengan menempatkan keselamatan warga sebagai tolok ukur utama.
Lembaga tersebut juga menekankan penghentian militerisasi ruang sipil. Menurut Andar, pengamanan aksi damai harus dikembalikan pada koridor kepolisian profesional, sementara pelibatan militer hanya boleh dilakukan pada keadaan luar biasa sesuai mandat hukum.
Selain itu, pemangkasan privilese pejabat publik, larangan gaya hidup hedonis, serta transparansi LHKPN menjadi bagian penting dalam memulihkan kepercayaan. Pembentukan tim independen yang melibatkan Komnas HAM, perguruan tinggi, hingga ormas sipil dinilai penting untuk menginvestigasi korban dan memantau reformasi.
Andar menegaskan, pemerintah, DPR, hingga aparat keamanan perlu menempatkan kepentingan publik di atas kalkulasi kekuasaan. "Hanya dengan itikad baik dan keberanian mengoreksi diri, kepercayaan publik dapat dipulihkan dan Indonesia tetap kokoh sebagai rumah bersama," pungkasnya. (P-4)