Imagine : Menyoal Identitas dan Eksistensi Manusia
Salah satu lagu favorit saya sepanjang masa adalah Imagine karya John Lennon, sebuah lagu yang hadir ditengah carut marut situasi global yang menyelimuti disekitar tahun 1971 pasca hengkangnya John Lennon dari The Beatles. Saat itu, perang Vietnam masih berlangsung dan dinilai sebagai bagian dari Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang yang berakhir pada tahun 1975 tersebut diperkirakan menelan korban lebih dari 1 juta jiwa dan mengakibatkan eksodus besar-besaran.

Tak hanya perang Vietnam, di tahun 1971 perang saudara di Pakistan memuncak dan menjadi cikal bakal lahirnya negara Bangladesh. Disisi lain, pada tahun tersebut terjadi pula guncangan di sektor ekonomi diakibatkan oleh keputusan Presiden Nixon yang menghentikan konvertibilitas dollar Amerika ke emas. Peristiwa yang dikemudian dikenal dengan Nixon Shock tersebut mengubah secara signifikan sistem keuangan dunia. Semua itu terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, menciptakan suasana dunia yang penuh ketakutan, kebingungan, dan pertanyaan tentang arah masa depan umat manusia.
BACA JUGASebuah lagu apik seringkali lahir dari situasi genting yang dihadapi atau dirasakan penulisnya. Kondisi itu pula yang menginspirasi John Lennon dalam menulis lagu Imagine. Ia tak hanya sekedar menuliskan lagu namun juga dengan lantang menyuarakan keresahan dan kegelisahannya secara terbuka. Ia memang dikenal luas sering terlibat dalam gerakan anti-perang dan menyuarakan keprihatinan terhadap kekerasan serta ketimpangan sosial. Ia menilai dunia saat itu berjalan kaku dan terlalu berjarak karena agama, negara, kelas ekonomi dan lain sebagainya.
Imagine lahir bukan sebagai lagu cinta biasa, melainkan sebagai sebuah ajakan untuk berpikir ulang: apakah dunia seperti ini memang sudah seharusnya? Atau kita bisa membayangkan bentuk dunia yang lebih baik? Dalam lagu ini, Lennon menantang kita untuk membayangkan dunia tanpa surga dan neraka. Sebuah gagasan yang tentu saja membuat banyak orang terkejut, bahkan marah. Lagu ini kemudian dinilai sebagai hymne manifesto komunis, anti agama bahkan kampanye terbuka ateisme. Namun dengan lantang Lennon menolak penilaian tersebut.
Sebagaimana aransemen musiknya yang sederhana, kesederhanaan itulah justru menjadi kekuatan Imagine. Hanya dengan piano dan suara lembut Lennon, lagu ini terdengar seperti suara hati yang tenang namun jujur. Tidak ada teriakan, tidak ada kemarahan, hanya ajakan yang penuh ketulusan untuk membayangkan.
Secara sadar, Lennon memandang seringkali negara atau agama menjadi legitimasi atas diskriminasi manusia. Jika tidak ada negara, tidak ada juga perang antar negara. Tidak ada lagi orang yang harus mati demi kekuasaan atau teritori. Di saat yang sama, ia membayangkan dunia di mana kita semua berhenti berdebat tentang Tuhan siapa yang paling benar, dan mulai menjalani hidup yang penuh kasih.
Lagu ini menjadi semacam doa lintas agama, lintas bangsa, lintas budaya. Karena ia berbicara tentang hal paling mendasar yang kita semua miliki: kemanusiaan. Tidak peduli dari mana kamu berasal, apa agamamu, atau berapa banyak uangmu, kita semua ingin hidup damai, dicintai, dan dihargai.Meskipun begitu, lagu ini tak lepas dari kritik. Tidak sedikit orang yang menilai lirik lagu ini utopis, tidak realistis bahkan hanya dianggap pesimisme brutal yang penuh ilusi. Beberapa kalangan religius menilai lirik seperti "no religion too" sebagai penolakan terhadap nilai moral. Bahkan Presiden AS Ronald Reagan sebagai seorang konservatif pernah menyindir lagu ini sebagai ‘impian kosong tanpa tanggung jawab’. Kita memang mungkin sangat sulit hidup tanpa identitas baik agama, etnis, gender, status sosial ataupun pandangan politik. Identitas adalah alat navigasi psikologis karenanya dengan identitas kita merasa aman, terarah dan penuh makna serta merasa diterima oleh lingkungan sosial.
Lennon bukan hanya bernyanyi, ia sedang melakukan eksperimentasi imajinatif atas eksistensi manusia yang tercerai-berai oleh identitas sosial. Ini adalah pertanyaan yang juga menjadi inti eksistensialisme. Bagi kalangan eksistensialis, sejatinya manusia lahir di muka bumi tanpa identitas apapun. Ia murni sebagai manusia merdeka, konstruksi sosial lah yang kemudian memberikan identitas. Sebagai pemberian konstruksi sosial maka identitas dapat ditinggalkan atau justru dibentuk ulang bukan warisan yang membelenggu sejak lahir. Sartre misalnya melihat masyarakat sering membuat orang hidup dalam kepalsuan, bukan karena jahat, tapi karena takut akan kebebasan.
BACA JUGAManusia adalah proyek yang belum selesai. Nietzsche bertanya apakah aku hidup seperti ini karena aku memilihnya atau karena dunia tidak memberiku pilihan lain? Bagi Nietzsche, identitas adalah konstruksi dekaden yang menjinakan manusia dari potensi dirinya sendiri. Untuk itu hanya dengan menjadi diri sendiri, manusia menjadi utuh. Sedangkan menjadi diri sendiri hanya akan terjadi setelah kita menghancurkan siapa yang kita kira diri kita sendiri selama ini.
Manusia belum menjadi siapa-siapa. Ia masih harus menciptakan dirinya.” ucap Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra.Bagi Nietzsche, manusia adalah jembatan menuju sesuatu yang lebih tinggi—ia belum selesai. Maka harus berani membongkar semua definisi lama. Sebuah ajakan melakukan dekonstruksi diri dan menemukan nilai diri sendiri dan bersiap untuk menghadapi dunia yang mungkin akan menolak karena dunia tanpa identitas mungkin menjadi lebih damai tapi juga sekaligus lebih menakutkan.
Mungkin dunia sempurna tanpa identitas tidak pernah benar-benar ada. Tapi itu bukan alasan untuk berhenti membayangkannya, setidaknya kita dapat memulai dari diri sendiri dengan kesadaran dan tanggung jawab atas setiap nilai diri yang kita pilih. Karena seperti kata Lennon,
Membayangkan bukan berarti melarikan diri. Dalam dunia yang penuh identitas, membayangkan dunia tanpa identitas adalah tindakan radikal untuk menata ulang nilai-nilai kita dari dalam. Karena mungkin, dunia satu itu bukan tujuan—tapi arah. Dunia adalah tempat menanam dan bertumbuh.