Muhammad Afriz Akhlisil Haidar
Politik | 2025-09-04 09:03:43
Jakarta - Gelombang protes berkobar di berbagai kota Indonesia, menyuarakan kegeraman publik terhadap tunjangan hidup dan perumahan anggota DPR yang dianggap jauh dari realita kondisi rakyat. Puluhan ribu demonstran termasuk mahasiswa, pekerja, pengemudi ojek daring, hingga perempuan bergaris depan menuntut reformasi sistemik dan transparansi. Aksi ini menandai puncak ketidakpuasan dalam demokrasi modern Indonesia.
Terlebih lagi ketika menyebarnya video anggota DPR joget-joget yang diindikasikan penyebabnya kenaikan gaji yang menjadi 100 juta per bulan atau 3 juta per hari, dan ketika di selidiki lebih lanjut melaui video podcast Denny Sumargo melalui Ferry Irwandi dan Pasha Ungu, yang menjelaskan bahwa penyebab joget-joget tersebut adalah lagu daerah yang diputar di lantai 2 oleh adik-adik unhan, jelas Pasha Ungu.
Gelombang demo kembali mengguncang Jakarta dan sejumlah kota besar Indonesia. Bukan sekadar aksi jalanan biasa, unjuk rasa kali ini lahir dari rasa muak rakyat terhadap gaya hidup mewah para wakilnya di Senayan. Tunjangan DPR yang mencapai Rp50 juta per bulan untuk perumahan menjadi pemicu ledakan amarah publik.
Sayangnya, amarah itu tidak hanya berhenti pada teriakan. Tragedi terjadi. Affan Kurniawan, seorang driver ojek online, tewas tertabrak kendaraan taktis polisi saat aksi berlangsung. Namanya kini menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan yang dianggap abai pada keadilan sosial.
Komnas HAM mencatat 10 korban jiwa dalam gelombang demo kali ini. Luka fisik dan psikis rakyat kian dalam, sementara elite masih terkesan lamban merespons.
Di tengah kericuhan, ada simbol perlawanan yang justru meneduhkan yaitu Aliansi Perempuan Indonesia. Mereka datang dengan baju pink dan membawa sapu lidi, seolah berkata bahwa bangsa ini harus “dibersihkan” dari korupsi, kesewenang-wenangan, dan kekerasan negara.
Fenomena ini melahirkan istilah populer: “Brave Pink” dan “Hero Green”, warna yang kini menjadi bahasa baru perjuangan rakyat.
Aliansi rakyat menyuarakan 17 tuntutan jangka pendek dengan tenggat hingga 5 September seperti pembentukan tim investigasi independen untuk Affan dan korban lainnya, serta pembatalan kenaikan tunjangan DPR. Sementara itu, platform digital seperti instagram dan lainnya mempopulerkan “17+8 Demands”, total 25 tuntutan termasuk pencabutan tunjangan, hukum perampasan aset, pembubaran kabinet dan DPR, hingga reformasi partai politik.
Dan akhirnya pada 1 September 2025 Presiden Prabowo Subianto akhirnya merespons tekanan publik: menangguhkan tunjangan perumahan DPR, moratorium kunjungan kerja luar negeri, dan membuka dialog langsung dengan masyarakat melalui DPR
Harapannya gelombang demo ini semestinya menjadi cermin besar bagi pemerintah dan DPR. Uneg-uneg rakyat tidak bisa dianggap sebagai keluhan sesaat, melainkan alarm keras agar kebijakan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan elite politik semata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.