Lampung Geh, Lampung Timur – Tiga tokoh nasional hadir dalam Temu Rakyat Sumatera pada malam sarasehan di Desa Sripendowo, Kecamatan Bandar Sribhawono, Kabupaten Lampung Timur, Sabtu (6/9) malam.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, aktivis HAM Inayah Wulandari Wahid, dan Dekan Fakultas Hukum UMSU, Faisal, menyampaikan kritik tajam terhadap relasi negara dengan rakyat serta praktik korupsi sumber daya alam (SDA) yang dinilai masih marak terjadi.
Inayah menegaskan, hubungan negara dan rakyat saat ini cenderung transaksional dan represif.
“Rakyat sudah lama menalisiasi, tapi tidak mendapat apa-apa. Begitu rakyat marah, justru dituding salah dan ditindak tegas,” ujarnya.
Ia menekankan tanah, air, hutan, dan udara semestinya dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan semata demi keuntungan penguasa.
Sementara itu, Bambang menyoroti korupsi SDA yang menurutnya sangat besar dan berdampak langsung pada rakyat.
Bambang mengingatkan tanah adalah kehidupan dan harus diperlakukan dengan keadilan.
“Tanah tanpa keadilan hanya akan meruntuhkan peradaban. Pemerintah yang tidak menegakkan keadilan di atas tanah sedang menulis masa depan yang suram,” katanya.
Selanjutnya, Bambang menjelaskan pengelolaan SDA yang tidak amanah melahirkan tiga bentuk kejahatan sekaligus yaitu merampas hak rakyat, menyalahgunakan kewenangan, dan melakukan kejahatan kemanusiaan.
Bambang juga menyinggung temuan KPK dalam Gerakan Nasional Penyelamatan SDA yang sempat dianggap mengancam kepentingan elite sehingga dihentikan.
“Korupsi sumber daya alam itu bukan sekadar merugikan negara, tapi juga kejahatan kemanusiaan karena membuat rakyat kehilangan ruang hidupnya,” tegasnya.
Ia mengingatkan adanya potensi besar sumber daya baru, seperti thorium, yang jika tidak dikelola dengan benar dapat kembali menjadi sumber konflik.
Temu Rakyat Sumatera menjadi ruang konsolidasi gerakan masyarakat dari berbagai provinsi untuk memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidup.
Para tokoh sepakat persatuan rakyat adalah kunci menghadapi perampasan ruang hidup yang marak terjadi akibat kebijakan negara maupun kepentingan korporasi. (Taufik/Put)