Liputan6.com, Jakarta Kematian akibat kanker payudara masih lebih tinggi dibandingkan kanker serviks dan kanker ovarium pada kanker perempuan. Berdasarkan data Global Cancer 2022, ada 66.271 kasus kanker payudara yang tercatat, angka kematian berada pada 22.598 kasus.
Menurut dosen Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelass Maret Solo dr Agus Jati Sunggoro SpPD-KHOM, FINASIM tingginya angka kematian kanker payudara di Tanah Air tak bisa dilepaskan dari rendahnya angka deteksi dini dan sistem kesehatan nasional yang belum adaptif.
Agus menyebut banyak pasien berobat ketika kanker sudah memasuki stadium lanjut, umumnya stadium 3 atau 4.
"Salah satu penyebabnya adalah persepsi yang keliru di masyarakat rasa takut, malu, atau bahkan enggan untuk memeriksakan diri sejak awal," kata Agus dalam keterangan tertulis.
Padahal, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyediakan program skrining gratis untuk empat jenis kanker, termasuk kanker payudara.
Melihat hal itu, Agus mengingatkan bahwa amat penting adanya kampanye edukatif yang konsisten agar masyarakat memahami pentingnya deteksi dini kanker payudara. Bila diketahui pada stadium awal maka bisa meningkatkan peluang kesembuhan.
Deteksi Dini Kanker Perlu Didukung Aspek Lain
Ketersediaan program deteksi dini kanker saja tidak cukup. Agar benar-benar berdampak, perlu dibarengi dengan upaya yang konsisten dan menyentuh akar persoalan.
Diantaranya peningkatan kapasitas tenaga medis di layanan primer, distribusi pelatihan yang merata hingga ke pelosok.
Harapan agar Akses Obat Inovatif Bisa Diakses Pasien Kanker
Agus juga menyorot mengenai dukungan pemerintah agar para tenaga medis bisa mengakses terhadap berbagai temuan pengobatan inovatif yang terus berkembang saat ini.
Sayangnya, kebanyakan obat inovatif untuk kanker payudara umumnya baru dapat diakses oleh pasien dengan kemampuan finansial tinggi.
"Tantangannya kini adalah bagaimana memastikan kemajuan ini dapat diadopsi secara merata di Indonesia," kata Agus.
Meski regulasi sudah ada tapi implementasinya di lapangan kerap menghadapi kendala. Salah satu contoh yang beliau soroti adalah Trastuzumab, obat yang bekerja dengan cara menghambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker.
“Obat ini sebetulnya sudah masuk FORNAS (Formularium Nasional) dan direkomendasikan untuk pasien stadium awal sebagai terapi pencegahan kekambuhan. Tapi di lapangan, BPJS baru menanggungnya untuk pasien stadium lanjut,” jelas Agus.
Rumah sakit pun masih ragu menerapkan karena belum ada petunjuk teknis yang memastikan biaya akan ditanggung. Padahal saat ini sudah berkembang pengobatan inovatif yang lebih mutakhir yaitu Trastuzumab Deruxtecan (T-DXd).
Berdasarkan uji klinis fase III DESTINY-Breast04, obat ini terbukti dapat memperpanjang median progression-free survival (angka ketahanan hidup tanpa progresi penyakit) pasien HER2-low menjadi 9,9 bulan. Angka ini hampir dua kali lipat dibandingkan kemoterapi standar dan meningkatkan angka keseluruhan harapan hidup hingga 23,4 bulan.
Obat ini telah tersedia di Indonesia, namun belum masuk dalam cakupan pembiayaan BPJS sehingga hanya dapat diakses oleh pasien yang memiliki kemampuan finansial.