Bantuan Sosial (Bansos) Beras adalah program bantuan pemerintah kepada masyarakat miskin dan rentan. Tujuannya jelas: membantu memenuhi kebutuhan pangan dasar, mengurangi beban ekonomi, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat penerima manfaat.
Paling tidak, ada empat alasan mengapa program ini tetap relevan hingga saat ini. Pertama, untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar. Masyarakat miskin dan rentan sangat terbantu dengan bantuan beras dalam memenuhi kebutuhan pangan harian.
Kedua, mengurangi kemiskinan. Program ini memberikan bantuan langsung yang bisa menjadi penyangga hidup di tengah tekanan ekonomi. Ketiga, merespons krisis dan bencana. Dalam situasi darurat seperti bencana alam, bansos beras menjadi penyelamat pertama bagi banyak keluarga.
Terakhir, meningkatkan akses pangan. Bansos beras berkontribusi terhadap pemenuhan gizi dasar masyarakat yang selama ini kesulitan mengakses pangan yang cukup dan berkualitas.
Pemerintah saat ini telah memperpanjang program bansos beras 10 kg untuk enam bulan di tahun 2025, mencakup 18,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Penyalurannya dirancang berlangsung bertahap, termasuk pada periode Juni hingga Juli 2025 yang langsung mencakup dua bulan sekaligus.
Tak hanya itu, berbagai program sosial lainnya seperti Program Makan Bergizi Gratis, Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Sembako juga menjadi bagian dari upaya negara menanggulangi kemiskinan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat bawah.
Namun di tengah semua program ini, ada pertanyaan besar yang patut direnungkan bersama, Apakah bansos ini solusi jangka panjang, atau hanya pereda sementara dari luka struktural yang belum diobati?
Kita tidak bisa menutup mata bahwa bansos beras adalah 'dewa penolong' bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jika kita sungguh ingin membebaskan Indonesia dari ketergantungan pada bansos beras, maka ada beberapa syarat fundamental yang harus segera dipenuhi:
Pertama, peningkatan produktivitas pertanian. Indonesia perlu meningkatkan produksi beras secara signifikan melalui teknologi pertanian, perbaikan infrastruktur irigasi, dan penyuluhan pertanian yang berkelanjutan.
Kedua, kemandirian pangan. Ketergantungan terhadap impor harus ditekan. Produksi dalam negeri harus jadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Ketiga, kesejahteraan petani. Petani sebagai garda terdepan penyedia pangan harus diberdayakan, baik dari sisi harga jual hasil panen, akses terhadap bibit dan pupuk, hingga perlindungan sosial.
Keempat, pengurangan kemiskinan struktural. Akar masalah ketergantungan bansos ada pada kemiskinan. Maka strategi pengentasan kemiskinan—bukan hanya bantuan sementara—harus diprioritaskan.
Kelima, distribusi pangan yang efektif. Produksi beras yang cukup tak akan berarti jika distribusinya timpang. Pemerataan akses pangan harus dijamin oleh sistem logistik nasional yang kuat. Keenam, kebijakan pangan yang berkelanjutan. Diperlukan arah kebijakan yang konsisten, berorientasi jangka panjang, dan melibatkan lintas sektor.
Mimpi untuk Indonesia bebas dari bansos beras bukanlah utopia, melainkan visi yang harus terus diperjuangkan. Negara boleh membantu rakyatnya yang lemah, tapi tak boleh membiarkan mereka terus-menerus lemah. Bantuan sosial adalah jaring pengaman, bukan tempat tidur permanen.
Kini saatnya menggeser paradigma: dari ketergantungan menuju kemandirian, dari bantuan menuju pemberdayaan, dari sekadar bertahan hidup menuju kehidupan yang lebih bermartabat.
Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajah, tapi juga bebas dari belenggu kemiskinan dan ketergantungan pangan.