Udang masih menjadi bintang utama ekspor perikanan Indonesia. Pada 2023, nilai ekspor udang menembus lebih dari USD 2 miliar dan pemerintah menargetkan angka yang lebih tinggi lagi. Di balik optimisme itu, ada kenyataan yang tidak bisa diabaikan: tambak udang kerap dibayangi masalah lingkungan. Kolam yang penuh lumpur berbau, air buangan yang keruh, hingga pesisir yang makin rapuh.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) jauh hari sudah mengingatkan bahwa budidaya udang tak boleh dilepaskan dari ekosistemnya. Tanpa kesehatan ekosistem, produksi tidak akan bertahan lama. Pesan ini kembali ditegaskan dalam berbagai kajian terbaru, seperti riset Sutanto dan kolega (2022) yang menekankan pentingnya manajemen berbasis ekosistem dalam tambak udang Indonesia.
Namun, seiring berkembangnya teknologi budidaya, muncul perbedaan cara pandang antar generasi petambak. Generasi senior mengandalkan pengalaman lapangan, sementara generasi muda cenderung berpijak pada data dan sensor digital. Gap generasi ini ternyata ikut memengaruhi cara kita memaknai kesehatan ekosistem sebagai dasar produksi.
Udang, Ekosistem, dan Gap Generasi
Tambak udang intensif kini dihadapkan pada satu dilema: produksi yang ingin terus ditingkatkan, berhadapan dengan daya dukung ekosistem yang terbatas. Dalam praktiknya, banyak petambak menambah kepadatan tebar untuk mengejar panen. Tapi konsekuensinya jelas, kualitas air lebih cepat turun. Oksigen terlarut bisa merosot di bawah ambang batas aman (4–5 mg/L), amonia menumpuk lebih dari 0,1 mg/L, sementara nitrit melampaui batas 1,0 mg/L. Semua itu berarti satu: ekosistem kolam sedang tertekan.
Lebih jauh, masalah tak berhenti di dalam pagar tambak. Limbah kaya nitrogen dan fosfor mengalir ke pesisir, memicu ledakan alga, menurunkan oksigen malam hari, bahkan bisa menyebabkan kematian biota. Penelitian Goto (2023) menunjukkan bahwa efluen tambak udang adalah salah satu kontributor utama pencemaran nitrogen di perairan Asia Tenggara. Artinya, keberlanjutan tambak tak hanya soal panen, tapi juga menyangkut nasib ekosistem laut di sekitarnya.
Di sinilah gap generasi kerap muncul. Generasi tua, dengan pengalaman puluhan tahun, percaya bahwa 'air bisa dipulihkan dengan kebiasaan lama': menambah kapur, mengatur aliran, atau sekadar mengganti sebagian air. Sementara generasi muda datang dengan perangkat sensor, aplikasi monitoring, dan algoritma analisis kualitas air. Dua pendekatan ini sering berseberangan, padahal keduanya bisa saling melengkapi.
Jika produksi udang ingin benar-benar berkelanjutan, maka yang perlu kita ubah adalah titik tolaknya: produksi harus mengikuti kesehatan ekosistem, bukan sebaliknya. Kesehatan ekosistem bisa diukur lewat indikator sederhana: DO stabil di atas 4–5 mg/L, pH konsisten di kisaran 7,5–8,5, amonia tetap rendah, dan keberadaan bioindikator seperti plankton beragam.
Membentuk kondisi seimbang ini bukan hal instan. Manajemen pakan presisi, yang menjaga agar rasio konversi pakan tidak terlalu tinggi, adalah kunci pertama. Vegetasi penyangga seperti sabuk mangrove atau wetland buatan juga menjadi penolong alami, mampu menyerap kelebihan nutrien sebelum mengalir ke pesisir. Sementara pemantauan bioindikator bisa memberi tanda-tanda awal apakah ekosistem sedang stabil atau menuju krisis.
Lalu, siapa yang harus menjalankan semua ini? Jawabannya: semua generasi. Pengalaman generasi senior adalah warisan berharga, terutama dalam membaca 'bahasa air' yang tak tercatat di sensor. Sebaliknya, generasi muda menawarkan ketepatan data, dari sensor oksigen hingga aplikasi monitoring real time. Keduanya seharusnya bukan saling menegasikan, melainkan bergandengan tangan.
Dari sini, sejumlah pertanyaan reflektif muncul. Sampai sejauh mana petambak berani menahan diri untuk tidak menjejalkan kolam dengan benur berlebihan demi menjaga keseimbangan air? Apakah perusahaan tambak mau mengalokasikan dana, bukan hanya untuk mesin aerator, tetapi juga untuk sabuk hijau mangrove atau sistem monitoring digital yang memberi kepastian jangka panjang? Dan bagaimana pemerintah serta pasar global memberi penghargaan bagi tambak yang menjaga ekosistem, bukan sekadar mengejar tonase panen?
Budidaya udang adalah denyut nadi ekonomi pesisir, tetapi tanpa ekosistem yang sehat, denyut itu bisa terhenti tiba-tiba. Pasar dunia kini makin ketat dalam menilai jejak lingkungan produk perikanan. Konsumen tidak lagi hanya bertanya soal ukuran udang, melainkan juga dampak ekologis dari tambaknya. Jika Indonesia ingin tetap menjadi pemain utama, maka jalan satu-satunya adalah menempatkan kesehatan ekosistem sebagai dasar produksi.