
GAJI dan sejumlah tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang fantastis telah menjauhkan makna nama lembaga legislatif. Pasalnya, mayoritas rakyat yang diwakili tengah berada di bawah tekanan ekonomi, sementara pihak yang mewakili justru terus menggemuk dompetnya.
"Pendapatan anggota DPR yang besar membuat mereka terasing dari warga kebanyakan. Tentu saja itu merusak makna perwakilan," kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus saat dihubungi, Rabu (3/9).
Lantaran mewakili, para anggota DPR dalam membuat berbagai kebijakan, tak terkecuali yang bersifat internal seperti gaji dan tunjangan, harus merujuk dan merepresentasikan kondisi masyarakat.
Tujuannya ialah agar hubungan antara orang-orang yang ada di Senayan tak kian terasing dengan mereka yang diwakili. Karenanya, penentuan besaran gaji dan ragam tunjangan seharusnya tak berbasis pada keinginan para anggota, melainkan berdasarkan kebutuhan dan bersifat transparan.
"Jadi penentuan besaran tunjangan tak boleh hanya mempertimbangkan keinginan anggota DPR, tetapi seharusnya berbasis kebutuhan. Jika berbasis kebutuhan, artinya DPR tak bisa suka-suka menentukan jenis tunjangan beserta angkanya," jelas Lucius.
Karenanya, tak salah jika masyarakat memprotes wakilnya yang dihujani beragam tunjangan, sementara pendapatan per bulan yang diterima rakyat masih jauh dari mencukupi. Untuk itu, DPR diminta melakukan evaluasi menyeluruh dan tak bersifat terbatas mengenai ragam tunjangan tersebut.
"Penyesuaian gaji dan tunjangan DPR dengan masyarakat harus dilakukan karena anggota DPR itu adalah wakil rakyat. Logika representasi itu seharusnya tercermin melalui pendapatan yang tidak terlalu berjauhan antara DPR dan warga masyarakat," pungkas Lucius. (Mir/P-3)