
BADAN Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) kini memiliki akses ke salah satu spyware paling canggih di dunia, Graphite. Hal itu setelah pemerintahan Donald Trump melanjutkan kontrak dengan Paragon Solutions, perusahaan asal Israel.
Spyware ini mampu mengambil alih ponsel target, melacak lokasi, membaca pesan, mengakses foto, bahkan menembus aplikasi terenkripsi seperti WhatsApp dan Signal. Graphite juga bisa mengubah ponsel menjadi alat penyadap melalui mikrofon bawaan.
Kontrak senilai US$2 juta ini sebenarnya diteken pada 2024 di era Presiden Joe Biden. Namun sempat ditangguhkan untuk memastikan kepatuhan terhadap perintah eksekutif yang membatasi penggunaan spyware oleh pemerintah AS. Berdasarkan dokumen pengadaan terbaru, penangguhan itu kini dicabut, menjadikan ICE sebagai lembaga pengguna resmi teknologi tersebut.
Pelanggaran Privasi
Keputusan ini menuai kritik dari pakar dan pegiat HAM. John Scott-Railton, peneliti senior di Citizen Lab, menyebut spyware semacam ini “dirancang untuk rezim otoriter, bukan demokrasi yang dibangun atas kebebasan dan perlindungan hak individu.” Ia mengingatkan penggunaan alat peretasan rahasia berisiko disalahgunakan, sebagaimana pernah terjadi di Italia, di mana jurnalis dan aktivis hak asasi menjadi target.
Paragon berusaha membedakan diri dari rivalnya, NSO Group, yang terkenal karena menjual spyware ke rezim represif. Perusahaan itu mengklaim hanya bekerja sama dengan negara demokrasi dan akan memutus kontrak bila klien terbukti menyalahgunakan teknologinya. Namun, Paragon menolak mempublikasikan daftar klien maupun penggunaan detail dari produknya.
Kelompok kebebasan sipil di AS juga menyuarakan kekhawatiran. Nadine Farid Johnson dari Knight First Amendment Institute menilai penggunaan spyware oleh ICE memperparah masalah kebebasan sipil, apalagi lembaga tersebut kerap dituding melanggar hak proses hukum. Ia mendesak Kongres membatasi secara ketat kapan dan bagaimana spyware boleh dipakai.
“Spyware seperti Graphite adalah ancaman serius bagi kebebasan berbicara dan privasi,” tegas Johnson. (the Guardian/Z-2)