
KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan bahwa hingga hari ini masih terdapat tujuh anak yang ditahan di Polres Jakarta Utara (Jakut), yang proses pendampingannya masih sulit dilakukan. Ketujuh anak tersebut hingga kini belum dikembalikan ke orang tua masing-masing.
Pada 25 Agustus 2025 terdapat 150 anak yang ditahan di Polda Metro Jaya, kemudian 37 anak yang berada di Polres Jakarta Barat, Polres Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat. Selanjutnya pada 28 Agustus 2025 terdapat 200 anak yang berada di Polda Metro Jaya dan 55 orang anak yang berada di Polres Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.
Kemudian pada 30 Agustus 2025 ada sekitar 15 orang anak ditahan di Polres Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Sedangkan di luar Jakarta, mulai dari DI Yogyakarta, terdapat 15 anak yang masih ditahan di kepolisian, kemudian di Semarang terdapat 17 anak, 13 anak di Kebumen, Jawa Tengah, lalu di Pekalongan ada 21 orang anak, kemudian di Wonogiri ada 7 orang anak, kemudian di Balikpapan ada 9 orang anak, di Nusa Tenggara Barat ada 5 orang anak, di Solo ada 15 orang anak, Kediri 3 orang anak, Surabaya 8 orang anak, serta di Bandung ada 11 orang anak.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, menegaskan bahwa anak yaitu penduduk di bawah 18 tahun baik yang menjadi pelaku, saksi, maupun korban adalah korban dari tidak berfungsinya sistem perlindungan anak.
“Yang dalam hal ini adalah adanya pengasuhan yang tidak optimal sehingga mereka melakukan demo yang tidak tepat,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Rabu (3/9).
Untuk itu, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 5 dan 6 menyatakan bahwa bagi anak berhadapan dengan hukum maka pendekatan hukum yang dilakukan melalui pendekatan Restoratif Justice (keadilan restoratif) wajib diupayakan diversi menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan.
Menurutnya, penting ekosistem pengasuhan mendukung upaya diversi ini, di mana orangtua wajib mengasuh, mengawasi dan memberikan contoh perilaku yang baik, tetangga, RT, Desa wajib turut serta mengawasi dan mencegah anak dari perilaku menyimpang dan lainnya. Seluruh pihak harus bertanggung jawab termasuk sekolah, guru, dan lainnya.
“UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak pasal 15 juga menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam kerusuhan sosial dan pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan,” kata Pribudiarta.
Dia pun menyatakan, hasil assessment pada peristiwa demo baru-baru menunjukkan bahwa anak-anak mendapat ajakan dari teman sebaya melalui pesan berantai dan mendapat fasilitas tertentu, seperti contoh kasus demo di depan kantor polda Semarang dan lainnya.
Untuk itu, Kementerian PPPA membuka saluran pengaduan melalui SAPA 129 bila terjadi kekerasan pada anak. Kementerian PPPA juga telah berkomunikasi dengan seluruh UPTD (unit pelaksana teknis daerah) di masing-masing wilayah untuk memastikan pendampingan sesuai hak anak. (Des/I-1)