
MENTERI Luar Negeri Hungaria, Peter Szijjarto menilai Uni Eropa (UE) kini lebih sibuk mempersiapkan skenario perang yang panjang dibanding mencari solusi damai atas konflik Rusia-Ukraina.
Pernyataan ini ia sampaikan usai menghadiri pertemuan para menteri luar negeri di Kopenhagen, Denmark beberapa waktu lalu.
Szijjarto menyebut Komisi Eropa secara praktis telah berubah menjadi Komisi Ukraina karena lebih mendahulukan kepentingan Kyiv daripada kepentingan negara-negara anggota. Kritik itu ia bagikan melalui akun resminya di platform X.
"Pada pertemuan para menteri luar negeri UE di Kopenhagen hari ini, menjadi jelas bahwa Brussel dan sebagian besar negara anggota sedang bersiap untuk perang yang panjang, bukan perdamaian. Mereka ingin mengirim puluhan miliar euro ke Ukraina untuk gaji tentara, drone, senjata, dan operasional negara Ukraina," kata Szijjarto seperti dikutip CNBC, Senin (1/9).
Dia menambahkan bahwa dalam pertemuan tersebut ada tekanan besar untuk mempercepat aksesi Ukraina ke UE, memberlakukan sanksi baru terhadap energi Rusia dan menyediakan dana tambahan sebesar 6 miliar euro (Rp115 triliun) guna memperkuat militer Kyiv. Langkah ini menunjukkan besarnya komitmen finansial Eropa bagi Ukraina.
Hubungan antara Hungaria dan Ukraina memang sudah lama tegang. Situasi semakin memburuk setelah serangan Ukraina terhadap pipa minyak Druzhba, jalur vital yang mengalirkan minyak Rusia dan Kazakhstan ke Slovakia dan Hungaria.
Budapest juga menuduh Kyiv melanggar hak-hak etnis Hungaria di wilayah Transcarpathia, sehingga memperdalam ketegangan kedua negara.
Hungaria konsisten menolak pengiriman senjata ke Ukraina dan berulang kali mengkritik kebijakan sanksi terhadap Moskow, yang dinilai merugikan ekonomi negara anggota UE sendiri.
Selain itu, Budapest juga menolak langkah Ukraina untuk bergabung dengan NATO maupun UE, membuat posisinya berbeda dengan sebagian besar anggota blok tersebut.
Sementara itu, pernyataan berbeda datang dari diplomat tinggi UE lainnya, Kaja Kallas.
Seusai pertemuan di Kopenhagen, dia menegaskan komitmen untuk terus mempersenjatai Ukraina dan meningkatkan tekanan pada Rusia, menandakan mayoritas negara Eropa tetap memilih jalur dukungan militer.
Moskow sendiri sejak awal mengecam dukungan Barat kepada Ukraina. Rusia menyebut hal itu sebagai perang proksi NATO.
Pada Juli lalu, Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov menegaskan bahwa para pemimpin Eropa Barat kembali berusaha menyiapkan benua tersebut untuk perang besar melawan Rusia. (Fer/I-1)