
Bagi sebagian orang, Pasar Hewan Barito di Jakarta Selatan bukan sekadar tempat belanja. Pasar ini menjadi bagian dari rutinitas, kebiasaan lama hingga relasi antara pembeli dan pedagang.
Tak perlu waktu lama bagi Asep (42) merasa cocok dengan Pasar Barito. Awalnya hanya berniat membeli perlengkapan hamster untuk anaknya. Namun, sejak datang pertama kali sekitar minggu lalu, ia kembali datang.
“Langganan, sini. Sama Babeh. Manggilnya Babeh, saya. Iya, Babeh Narjam,” ujar Asep saat ditemui di Pasar Hewan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (7/7).
“Hampir minggu-minggu ini lah. Seminggu lebih. Udah kemari,” tambahnya.
Yang ia cari pun tak macam-macam, yang penting lengkap dan membuat hewan peliharaan anaknya nyaman.

“Beli, ini perlengkapan hamster. Buat anak. Ya, perlengkapan-perlengkapan dia. Biar nyaman, gitu. Sama buat wara-wirinya,” ujar Asep.
Bagi Asep, pasar ini mudah diakses, langsung di pinggir jalan. Itu yang membuatnya terasa praktis. Kebiasaan kecil yang mungkin sepele, tapi sulit tergantikan.
Kabar Relokasi yang Tak Terduga

Saat ditanya soal rencana relokasi Pasar Barito, Asep mengaku baru mengetahuinya.
“Waduh, baru paham nih, saya,” tutur Asep.
Asep pun menyayangkan kalau pasar ini direlokasi.
“Wah, kalau dipindahkan, jadinya rada jauh, ya, nyarinya. Jadi kan ini kan lebih gampang, ya. Kita kan nyari-nyari lebih dekat, dah gitu maksudnya. Lebih praktis di pinggir jalan langsung,” ujar Asep.

Sebagai pelanggan, Asep bukan hanya memikirkan dirinya. Ia memikirkan para pedagang yang sudah lama berjualan di situ.
“Ya, kuranglah, kurang setuju. Kasihan juga mereka kan pada usaha, gitu. Kalau daripada relokasi, dibagusin lagi lebih baik. Iya, mendingan dibagusin. Gitu, ya,” tuturnya.
Cerita lain datang dari Ardy (22). Ia mengenal Pasar Barito karena sering diajak ayahnya yang memelihara burung. Kini, giliran ia sendiri yang rutin datang, meneruskan kebiasaan itu.
“Belum lama sih, tapi iya langganan. Ke Barito tiap mau beli makanan burung,” ujar Ardy.
“Kurang lebih dari tahun lalu kali ya. Soalnya bapak saya juga pelihara burung, awalnya sering ajak ke sini, jadi kebiasaan aja gitu sampai sekarang. Saya yang disuruh berangkat,” jelasnya.
Ardy menyebut pernah membeli burung peliharaan di Pasar Barito, sekarang lebih sering membeli pakan dan keperluan harian saja.
“Biasanya sih beli pakan buat burung. Dulu sempet juga beli lovebird di sini, tapi sekarang lebih sering buat kebutuhan harian aja,” katanya.
Pasar yang Sudah Telanjur Dikenal

Bagi Ardy, memindahkan pasar bukan hanya soal tempat, tapi juga soal identitas. “Wah, jujur sih berat ya. Soalnya Pasar Barito ini sudah orang tahu banget gitu. Orang sudah pada tahu tempatnya di sini,” ucap Ardy.
“Kalau dipindahkan, mungkin agak repot aja ya buat yang biasa ke sini, apalagi yang tinggalnya jauh dari sana,” tambahnya.
Ia menyadari ada pertimbangan dari pemerintah, tapi berharap penataan bisa dilakukan tanpa harus memindahkan pasar ke lokasi baru.
“Bagaimana ya, mungkin dari sisi penataan kota memang perlu diperhatikan. Tapi mungkin bisa dibenerin aja dulu, ditata lebih rapi, tapi tetap di lokasi yang sama. Soalnya tempat ini sudah punya dikenal juga sih buat banyak orang,” tutur Ardy.
Bukan Sekadar Tempat Belanja
Cerita Asep dan Ardy menunjukkan bahwa Pasar Barito bukan hanya tempat bertemu penjual dan pembeli. Ia adalah ruang tumbuhnya kebiasaan, hubungan, dan memori.
“Disayangkan juga,” kata Asep, saat membayangkan pasar ini tak lagi ada di tempatnya sekarang.
Di antara cuitan burung dalam sangkarnya, di sanalah letak sesungguhnya nilai sebuah pasar. Bukan hanya pada apa yang dijual, tapi pada keterikatan yang tumbuh di sekitarnya.