
GELOMBANG demonstrasi yang melanda Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia harus menjadi bahan renungan nasional bagi para pemimpin Indonesia. Diaspora muda Indonesia yang menetap di Malaysia, Tengku Adnan, menyerukan agar para pemimpin bangsa menjadikan momen ini sebagai teguran moral untuk berkontemplasi dan berbenah.
Ia menekankan bahwa cita-cita kemerdekaan harus kembali dijadikan kompas dalam setiap langkah politik. Aksi demonstrasi yang melanda Jakarta dan sejumlah daerah di Indonesia belakangan ini berawal dari kekecewaan rakyat atas wacana kenaikan tunjangan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang dinilai sudah tidak wajar.
"Kekecewaan publik memuncak saat sejumlah anggota legislatif merespon kenaikan tunjangan tersebut dengan perbuatan dan pernyataan yang dianggap tidak mewakili rakyat, seperti berjoget-joget. Tindakan dan pernyataan tersebut memicu protes massa dari berbagai macam kalangan dan berujung pada turunya Mahasiswa, buruh, hingga elemen masyarakat sipil ke jalan untuk menyuarakan keresahan mereka," kata Ketua Badan Perwakilan Komite Nasional Pemuda Indonesia di Malaysia itu, Kamis (4/9).
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melaporkan, aksi terjadi di 107 titik pada 32 provinsi dengan sebagian berlangsung secara damai dan kondusif. Namun, terdapat juga aksi di beberapa daerah yang berakhir rusuh hingga menimbulkan kerusakan, penjarahan dan korban jiwa.
Fenomena aksi penjarahan dan vandalisme yang merebak di berbagai daerah menurut Tengku Adnan bagaimanapun tidak boleh dibenarkan terjadi. Di lain sisi, hal tersebut adalah tanda bahaya yang seharusnya menjadi bahan kontemplasi bagi para pemimpin bangsa.
“Vandalisme yang merugikan masyarakat luas, Itu tidak bisa kita justifikasi. Tetapi munculnya fenomena ini adalah teguran keras: ada aspirasi rakyat yang mungkin tidak tersampaikan melalui jalur resmi. Itu peringatan keras bagi kita semua untuk membuka telinga lebih lebar,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana beberapa negara lain berani mengambil langkah untuk berbenah setelah krisis kepercayaan publik terjadi. Korea Selatan, misalnya, setelah skandal politik besar pada tahun 2016, memperketat aturan transparansi parlemen yang hasilnya skor indeks persepsi korupsi mereka naik dari 40 pada tahun 2008 menjadi di atas 60 pada tahun 2020. Sementara Inggris, setelah terjadi nya skandal pengeluaran parlemen pada tahun 2009, membentuk lembaga independen pengawas tunjangan (IPSA) yang hingga kini menjadi standar akuntabilitas baru di negara tersebut.
“Kedua contoh ini menunjukkan hal sederhana: rakyat kembali percaya ketika pemimpinnya berani berkaca dan memperbaiki diri. Keberanian tertinggi seorang pemimpin bukan hanya mengambil keputusan besar, tapi juga berani mengoreksi diri sendiri,” tegas Tengku Adnan.
Tengku Adnan mengingatkan, sejarah Indonesia telah mencatat momen ketika keresahan rakyat berubah menjadi peristiwa tragis besar. Pada tahun 1998, krisis moneter melanda Indonesia disertai dengan demo besar-besaran yang pada akhirnya mengguncang sendi politik nasional. Walau menghasilkan reformasi, dampak sosial dan ekonomi yang ditinggalkan sangat berat bagi masyarakat kecil.
“Kita belajar dari sejarah, jangan biarkan bangsa ini kembali terluka karena pemimpin abai mendengar. Seharusnya pemimpin hadir sebelum rakyat menjerit, bukan setelahnya,” tegasnya.
Dalam menyikapi aksi protes yang semakin memanas, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan tunjangan anggota DPR RI, yang sebelum nya menjadi pemicu aksi demonstrasi, dibatalkan. “Para pemimpin DPR RI menyampaikan akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan anggota DPR RI dan juga moratorium kunjungan kerja ke luar negeri,” jelas Prabowo pada konferensi pers di Istana Merdeka.
Beberapa partai politik bahkan mengambil langkah tegas dengan menarik atau menonaktifkan anggota DPR RI yang menjadi pemicu aksi demonstrasi.
Keresahan terhadap protes tersebut sampai hingga ke luar negeri. “Ketika rakyat turun ke jalan merupakan alarm yang tidak bisa diabaikan. Suara rakyat perlu didengar,” ujar Tengku Adnan.
Ia menegaskan juga bahwa “cita-cita bangsa adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya sekedar kemewahan untuk elit parlemen dan pemerintahan.” Menurutnya, kerusuhan ini bukan peristiwa biasa, namun memperlihatkan rapuhnya kepercayaan rakyat, lemahnya kepemimpinan moral, dan jauhnya cita-cita kemerdekaan bangsa kita.
Sebagai representasi diaspora Indonesia, Tengku Adnan menambahkan bahwa masyarakat Indonesia di luar negeri pun menaruh harapan besar. “Kami ingin melihat DPR RI dan para pemimpin pemerintahan kita berdiri tegak dengan wajah yang jujur di hadapan rakyat. Karena politik sejati bukan perebutan kursi, tapi pengabdian untuk Indonesia,” tegasnya.
Disaat yang sama, Tengku Adnan juga sangat mengapresiasi bentuk aksi solidaritas yang dilakukan oleh kawan-kawan aliansi mahasiswa Malaysia bersama perkumpulan masyarakat sipil yang telah menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur. Mereka telah berhasil menunjukan dukungannya kepada rakyat Indonesia yang melakukan demonstrasi di beberapa wilayah Indonesia serta mengungkapkan rasa empati terhadap kejadian yang tengah melanda negara tetangga nya tersebut.
Bukan hanya itu, gerakan memesan makanan secara sukarela melalui aplikasi ojek online yang dilakukan oleh rakyat Malaysia, Brunei, Singapura serta negara-negara ASEAN lainnya untuk diberikan secara massal bagi para pengemudi ojek online di Indonesia sebagai bentuk simpati dan dukungan moral mereka terhadap wafatnya Affan Kurniawan adalah suatu bukti nyata dan konkret kepedulian masyarakat dunia terhadap situasi yang dihadapi oleh rakyat Indonesia.
Ia menutup dengan pesan bahwa sudah saatnya para pemimpin berhenti sejenak untuk mendengar nadi rakyat dan berbenah, bukan hanya meredam protes semata. Melainkan untuk menata kembali arah perjalanan negeri ini dengan mengambil kebijakan yang adil, menggunakan kerendahan hati dan menjunjung tinggi moral serta keberpihakan nyata pada rakyat. (Cah/P-3)