
Penasihat hukum Menteri Perdagangan RI 2015–2016 Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, merasa sidang kasus dugaan korupsi importasi gula yang menjerat kliennya didesain untuk menghukum. Alih-alih mengungkap kebenaran.
Hal itu disampaikan Ari Yusuf saat giliran tim penasihat hukum Tom membacakan pleidoi atau nota pembelaannya, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (9/7).
"Kita semua melihat, sedari awal, perkara ini mulai dari penyidikan dan digelarnya persidangan senantiasa dalam irama yang sumbang dan sarat rekayasa," kata Ari Yusuf.
"Ada kesan yang sangat kuat bahwa persidangan terhadap perkara ini sejak awal telah didesain bukan untuk mencari kebenaran materiil, tetapi sekadar melegitimasi dakwaan jaksa demi satu tujuan yang telah ditentukan: yaitu menghukum Terdakwa," jelasnya.
Ari menyebut, keyakinan pihaknya bukan tanpa dasar. Pasalnya, kata dia, selama persidangan, muncul banyak kejanggalan yang menunjukkan Majelis Hakim lebih berpihak kepada jaksa alih-alih bersikap objektif. Salah satunya, terkait penyerahan audit BPKP mengenai penghitungan kerugian negara.
"Keyakinan kami betapa persidangan terhadap perkara ini penuh rekayasa, terbukti dari banyaknya kejanggalan selama persidangan, mulai dari sikap Majelis Hakim mengabulkan permintaan jaksa untuk memberikan salinan audit BPKP hanya berselang 7 hari sebelum ahli BPKP diperiksa," ucap Ari.
"Padahal seharusnya audit ini diserahkan sebelum pemeriksaan saksi fakta dilakukan. Karena isi audit tersebut sebagian besar bersumber dari keterangan saksi di tahap penyidikan," bebernya.

Imbasnya, Ari menilai pihaknya kehilangan hak untuk menguji keabsahan audit BPKP tersebut lantaran saksi fakta telanjur selesai diperiksa dalam persidangan.
"Akibatnya, kami kehilangan hak untuk menguji secara langsung kebenaran dasar audit tersebut. Saksi-saksi fakta keburu selesai diperiksa, audit baru diserahkan," tutur Ari.
"Lalu bagaimana mungkin kami bisa mengkonfirmasi validitas temuan BPKP jika dasarnya tidak bisa lagi diuji di muka sidang? Inilah bentuk pengaburan kebenaran secara sistematis," imbuhnya.
Kemudian, kata dia, ahli dari BPKP yang dihadirkan ke persidangan bukan yang diperiksa pada tahap penyidikan. Akibatnya, ahli tersebut banyak tidak mampu menjawab hasil audit yang dibuat.
"Lebih aneh lagi ketika kami meminta dilakukan konfrontir antara ahli dari BPKP tersebut dengan ahli yang kami hadirkan, ditolak oleh Majelis Hakim," ujar Ari.
"Padahal, ini sangat penting untuk membuktikan bahwa semua keterangan dari ahli BPKP tersebut tidak benar dan mengada-ada, semata-mata hanya memenuhi permintaan dari pihak kejaksaan agar sesuai dengan targetnya," paparnya.

Bahkan, lanjut dia, dalam perkara ini kliennya tidak menerima satu rupiah pun uang hasil korupsi. Ari mengatakan, jaksa pun tidak merasa perlu membuktikan unsur tersebut.
"Lebih mengherankan lagi, tidak ada satu sen pun aliran dana yang mengalir ke terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan jaksa terlihat tidak merasa perlu membuktikan unsur itu, seolah korupsi bisa terjadi tanpa adanya keuntungan pribadi," tutur Ari.
"Ini mungkin satu-satunya perkara korupsi di seluruh dunia, di mana terdakwa dituduh korupsi atas sesuatu yang tak pernah ia nikmati sepeser pun," lanjutnya.
Dengan begitu, Ari menekankan bahwa fakta tersebut justru mencederai dan merusak nalar hukum. Ia menilai aneh jika ada orang yang memberikan uang kepada pihak lain yang tidak dikenalnya, bahkan hingga ratusan miliar.
"Tidak kalah aneh, tuduhan terhadap terdakwa dikonstruksi seolah ia memberikan arahan berjenjang sebagai menteri kepada bawahannya untuk menunjuk 8 perusahaan rafinasi beserta distributor dan PT Kebun Tebu Mas," ucap Ari.
"Namun, dari sekian banyak saksi, hanya satu orang saksi yang menyebut dugaan ini. Itu pun bukan berdasarkan kesaksian langsung, bukan dari yang ia dengar atau ia alami sendiri. Sehingga, keterangannya sebagai saksi pun harus diabaikan karena ia tidak menyaksikan apa-apa secara langsung," bebernya.
Lebih lanjut, Ari menegaskan bahwa kliennya pun tidak mengenal dan sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan 8 perusahaan gula swasta tersebut.
"Ironi itu kian bertambah, kehadiran puluhan saksi yang banyak di antaranya tidak relevan, hanya memperpanjang proses tanpa menambah bobot pembuktian," kata Ari.
"Hal ini menunjukkan bahwa dakwaan dibangun secara serampangan, menumpuk saksi tanpa seleksi, agar tampak seolah lengkap, padahal substansinya rapuh," imbuh dia.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Tom Lembong dihukum 7 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa meyakini bahwa Tom Lembong terbukti bersalah dan terlibat dalam kasus dugaan korupsi importasi gula yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 578,1 miliar.
Usai dituntut 7 tahun penjara, Tom Lembong menilai bahwa isi dari surat tuntutan jaksa sama sekali mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan selama ini.
Tom juga mengaku kecewa lantaran tak adanya pertimbangan jaksa terkait sikap kooperatif yang telah dia tunjukkan selama ini.
"Saya terheran-heran dan kecewa. Karena tuntutan yang dibacakan sepenuhnya mengabaikan 100% dari fakta-fakta persidangan. Jadi, saya agak heran saja apakah ini memang pola kerja daripada Kejaksaan Agung," ujar Tom Lembong beberapa waktu lalu.
"Saya sudah cukup bersabar. Dalam tahanan sudah 8 bulan, kira-kira. Dan itu pun juga sama sekali tidak dicerminkan dalam tuntutan," katanya.
Dengan tuntutan itu, Tom Lembong pun menilai Kejagung tak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum.
"Saya agak kecewa bahwa Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak sanggup untuk profesional seperti yang kami harapkan dan bagaimana sejauh mungkin kami sendiri mempraktikannya," pungkas dia.