
SEDIKITNYA 50 aktivis pro-demokrasi lintas angkatan di Kota Solo, Kamis malam (3/9/2025) berkumpul dan berdiskusi mengenai situasi politik nasional, dan sekaligus memunculkan manifesto sebagai peta jalan, Bagaimana rakyat bisa mengubah negeri agar adil, makmur dan bermartabat.
Dalam suasana penuh duka dan kegelisahan, pasca gelombang amuk massa merebak di berbagai daerah, termasuk di Kota Solo, yang berujung pembakaran kantor DPRD setempat, forum aktivis pro demokrasi itu menggelar diskusi panjang berbagai persoalan kebangsaan
"Diskusi soal mengapa kemarahan rakyat menjadi sulit dicegah. Ada tiga persoalan yang melatarbelakangi lahirnya kemarahan itu, yang bertumpu pada kecemburuan sosial, krisis fiskal, dan kesulitan hidup yang terus menumpuk," beber Priyo Wasono, aktivis 98.
Mereka mencermati, bahwa munculnya amuk massa bukanlah gerakan spontan, melainkan akumulasi dari persoalan rakyat yang tak
kunjung diselesaikan.
"Saluran aspirasi formal yang mestinya dijalankan oleh DPR sering kali mandek atau berubah menjadi arena kompromi elite sehingga suara rakyat tidak menemukan ruang yang tepat," beber mereka.
Karena itu tidak heran bila rakyat melampiaskan kemarahan pada DPR, karena lembaga legislatif dianggap gagal menjalankan fungsi representasi, dab lebih sibuk menjaga kepentingan politik jangka pendek, ketimbang menyuarakan kebutuhan mendesak rakyat.
Pada saat kegelisahan rakyat datang bertubi, justru polisi menjadi sasaran amarah, mengingat dalam praktiknya mereka lebih sering tampil sebagai alat kekuasaan ketimbang pengayom.
"Bagi rakyat, aparat keamanan lebih terlihat menjaga kepentingan elite dan menekan protes sosial, bukan melindungi hak warga," sergah Sugeng Budiharto, aktivis vokal Sragen.
Dalam situasi semacam itulah kemarahan publik meledak sebagai ekspresi terakhir saat keadilan semakin terasa jauh dari jangkauan. Kesenjangan makin nyata antara elite politik dan rakyat.
Masyarakat tidak tahan menonton para elite pamer kehidupan mewah di ruang publik, perilaku korupsi yang mencapai triliunan rupiah.
Data BPS mencatat, hingga Maret 2025 masih terdapat 23,85 juta penduduk miskin (8,47% dari total populasi), termasuk 2,38 juta jiwa dalam kategori kemiskinan ekstrem.
Dalam bidang fiskal, keputusan yang diambil kerap minim partisipasi publik. Ketika beban utang menumpuk, rakyat justru menjadi sasaran penarikan pajak tambahan dan pungutan baru.
"Jadi paradoks pun muncul, dan masyarakat yang tidak pernah terlibat proses pengambilan keputusan dipaksa menanggung akibat dari keputusan tersebut untuk membayar utang. Situasi hidup sulit makin kentara seiring makin banyaknya PHK dan industri bangkrut," tukas Prijo.
Manifesto Jadi Peta Jalan
Dalam manifesto para aktivis pro demokrasi itu ada 8 tuntutan, seperti stop kekerasan aparat, tegakkan HAM dan mencopot Kapolri yang dianggap paling bertanggungjawab atas beutalisme aparat dalam penanganan demonstrasi.
Masih dalam butir pertama manifesto, yakni minta pembebasan penahanan aktivis. Data Polri menyebutkan ada 3.195 orang ditangkap dalam demonstrasi besar - besaran selama Agustus 2025.
Dalam catatan KontraS, ada 20 aktivis yang ditahan karena dianggap melakukan provokasi melalui media sosial. Item lain adalah mendesak pemecatan dan sekaligus pengadilan bagi aparat pelaku tindak kekerasan yang menyebabkan kematian dan luka luka.
Bentuk tim independen untuk mengusut tuntas kematian aktivis, mahasiswa, dan pelajar di berbagai daerah: Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Manokwari.
Lalu manifesto kedua adalah komitmen Kedaulatan Rakyat, yang mana DPR harus lebih berani mengawasi pemerintah, bukan justru jadi stempel kebijakan.
Juga penghapusan hak istimewa berlebihan: rumah dinas mewah, tunjangan besar, tunjangan pensiun, fasilitas berlebihan , berganti standar hidup sederhana.
Sanksi keras atau recall untuk qnggota dewan yang korup, mangkir sidang, atau terlibat politik uang. Permasalahan RUU Perampasan Aset harus segera disahkan menjadi UU.
Begitu halnya a aspirasi dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI terkait kinerja Wakil Presiden, didesakkan DPR segera melakukan evaluasi terhadap kinerja Wakil Presiden.
Untuk manifesto ketiga, 50 aktivis pro demokrasi mendesakkan pemerintahan efektif dan bersih, serta
birokrasi harus transparan, melayani rakyat, bukan melayani oligarki.
"Banyak menteri Kabinet Merah Putih yang kontroversial memicu kemarahan rakyat dalam kebijakannya. Dan segera lakukan reahuffle menteri bermasalah," ujar mereka. (H-2)