Di tengah derasnya arus informasi digital, fenomena post truth kian menjadi tantangan serius. Post truth merujuk pada kondisi di mana emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh dibandingkan fakta objektif dalam membentuk pandangan publik.
Istilah ini bahkan sempat dinobatkan sebagai Word of the Year oleh Oxford Dictionaries pada 2016, seiring meningkatnya penyebaran hoaks dan propaganda politik di dunia.
Post truth bukan sekadar berita bohong. Ia adalah ekosistem di mana kebenaran menjadi relatif, tergeser oleh narasi yang dimainkan dengan emosi. Dalam situasi ini, orang lebih percaya pada kata-kata influencer, akun anonim, atau tokoh populis ketimbang media kredibel dan hasil riset.
Angga Prawadika Aji, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAIR, mengatakan bahwa fenomena post truth tidaknya hanya mengaburkan batas antara fakta dan opini, tapi juga mengancam kredibilitas ilmu pengetahuan.
Fenomena ini bisa menjadi ancaman terhadap demokrasi, sebab masyarakat tidak lagi berdebat soal fakta, melainkan soal “versi kebenaran” yang diyakini masing-masing.
“Masyarakat semakin bergantung pada tokoh populer, seperti influencer, untuk menafsirkan informasi yang mereka terima. Mereka cenderung lebih memercayai sumber informasi yang familiar tanpa mempertanyakan validitasnya,” papar Angga seperti dikutip di situs web resmi unair.ac.id.
Indonesia bukan pengecualian. Beberapa tahun terakhir, kita sering menyaksikan betapa cepatnya kabar bohong bisa berubah menjadi kepanikan massal. Kabar yang belum tentu kebenarannya itu terkadang menimbulkan keresahan hingga berujung pada kekerasan massa di beberapa daerah, padahal banyak laporan yang akhirnya terbukti tidak benar.
Menurut Kementerian Hukum RI di situs webnya, kasus post truth di Indonesia bisa dilihat pada tahun 2020, tepatnya ketika COVID-19 menyebar ke seluruh dunia. Kala itu banyak konten di media sosial yang menyebut bahwa vaksin COVID-19 dapat membuat penerimanya lumpuh atau menimbulkan kebutaan. Ada juga yang bilang vaksin COVID-19 mengandung chip untuk melacak dan memantau orang-orang di seluruh Bumi oleh elite global. Gegara misinformasi ini, tak sedikit orang yang memilih untuk tidak divaksin COVID-19.
Fenomena ini memperlihatkan wajah asli post truth, di mana informasi yang menyentuh emosi, entah rasa takut, marah, atau benci, lebih cepat dipercaya dan disebarkan ketimbang penjelasan berbasis data. Akibatnya, polarisasi makin tajam. Publik terjebak dalam ruang gema yang hanya mengulang keyakinan mereka sendiri, menutup telinga dari pandangan berbeda.
Ironisnya, sebuah studi oleh MIT menemukan bahwa berita palsu 70% lebih mungkin untuk dibagikan daripada berita yang benar. Krisis kepercayaan juga memainkan peran penting bagaimana post truth lebih banyak dikonsumsi orang.
Survei Edelman Trust Barometer 2021 menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah, media, dan institusi lainnya menurun secara signifikan. Masyarakat semakin skepti...