Roma Kyo Kae Saniro
Eduaksi | 2025-09-06 16:09:37
oleh Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Sastra menjadi sebuah ilmu yang tidak hanya mempelajari sebuah tulisan yang dikenal dengan jenis bentuk puisi, prosa, dan drama. Berdasarkan pembabakan waktu, tiga bentuk tersebut terbagi menjadi dua waktu, yaitu tradisional dan modern (kontemporer). Dalam sastra tradisional, sastra sangat erat kaitannya dengan aturan-aturan yang mengikat. Berbeda dengan sastra modern yang tidak memiliki kaidah atau bebas. Hal ini menjadikan sastra modern lebih ‘cair’ dengan ilmu lainnya. Contoh perluasan sastra budaya (kontemporer): sastra maritim, sastra pariwisata, sastra agama, sastra musik, sastra rempah, sastra horor.
Sastra horor menjadi sebuah bagian dari sastra yang memiliki nilai horor atau mistis. Sebenarnya, sastra horor tidak hanya masuk ke kategori sastra kontemporer, tetapi juga sastra tradisional, seperti cerita Calonarang. Menurut Nevins (2020), cerita horor merupakan cerita yang memuat kengerian, tetapi sebenarnya, narasi-narasi yang terkandung di dalamnya tidak bertujuan untuk menakuti, tetapi untuk memberikan pesan, khususnya dalam lingkup sosiologi sastra. Jika ditilik dari kesejarahan cerita horor di Indonesia, cerita horor di Indonesia mengalami kejayaan pada tahun 1970-1990-an. Salah satu penulis yang terkenal pada masa tersebut adalah Abdullah Harahap yang mampu menyoroti kondisi sosial yang bercampur dengan kepercayaan lokal, seperti dukun, mitos, dan legenda yang hadir dan muncul di masyarakat.
Di tingkat global, minat terhadap genre horor mengalami perkembangan yang signifikan. Berdasarkan data Statista Consumer Insights (Oktober 2023–September 2024), tercatat sejumlah negara memiliki proporsi tinggi penduduk yang gemar mengonsumsi konten horor, baik berupa film layar lebar, serial televisi, maupun video daring.
Di urutan pertama, Meksiko dengan 49% respondens yang menyukai konten horor. Selanjurnya, Spanyol menempati posisi teratas dengan 41% respondens menyatakan bahwa mereka secara aktif menonton dan menikmati konten horor. Angka ini memperlihatkan betapa kuatnya budaya menonton horor di negara tersebut, yang kemungkinan dipengaruhi oleh tradisi panjang film horor dan thriller Spanyol yang dikenal di dunia internasional.
Menyusul di posisi kedua adalah Amerika Serikat dengan 40%, yang menegaskan posisi negeri Paman Sam sebagai salah satu pasar film horor terbesar di dunia. Tingginya angka ini sejalan dengan performa horor di Box Office Amerika Utara, di mana film-film bergenre horor secara konsisten menembus jajaran film dengan pendapatan tertinggi. Di Jerman (38%), Afrika Selatan (37%), dan Inggris (36%), proporsi penonton horor juga tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa horor bukan hanya diminati di negara dengan industri perfilman besar, tetapi juga merata di berbagai belahan dunia, termasuk kawasan Eropa dan Afrika.
Sementara itu, di Prancis, angka tersebut lebih rendah, yaitu 30%, memperlihatkan bahwa meskipun horor memiliki basis penggemar, preferensi masyarakat Prancis terhadap genre lain masih lebih dominan. Menariknya, Cina justru mencatat angka yang jauh lebih kecil, menunjukkan bahwa konten horor belum menjadi konsumsi utama di negara tersebut. Hal ini bisa dikaitkan dengan faktor regulasi sensor, budaya menonton, serta preferensi masyarakat yang cenderung berbeda dibandingkan negara-negara Barat.
Keseluruhan data ini mengungkap bahwa horor merupakan genre lintas budaya dengan pasar yang luas, tidak hanya terbatas pada Amerika Serikat sebagai kiblat industri perfilman dunia. Dengan tren global yang positif, peluang terbuka lebar bagi sineas dari berbagai negara—termasuk Indonesia—untuk mengembangkan film horor yang tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga mengandung nilai budaya lokal. Dengan demikian, horor dapat berfungsi ganda: sebagai produk kreatif yang kompetitif secara komersial sekaligus sarana diplomasi budaya yang memperkenalkan identitas bangsa di panggung internasional.
Salah satu diplomasi ini pun terjadi antara Indonesia dan America melalui perayaan 75 tahun hubungan diplomatik antara kedua negara pada tahun 2024 silam. Dalam peluncuran ini, tema “Keberagaman, Demokrasi, Kemakmuran” digunakan sebagai representasi nilai-nilai yang sama-sama dijunjung tinggi oleh kedua negara. Salah satu wujud kerja sama dalam bidang kebudayaan adalah di sektor perfilman.
Momentum bersejarah tercipta ketika film Indonesia “Agak Laen” (2024) diputar di Amerika Serikat sebagai film Indonesia pertama yang tayang secara resmi di sana. Film bergenre horor komedi ini bukan hanya membawa hiburan, tetapi juga menjadi media untuk memperkenalkan budaya Indonesia sekaligus menunjukkan identitas bangsa yang kuat di panggung internasional. Selain itu, film ini pun sukses mendapatkan 9 juta penonton sejak tayang pertama kali tayang pada 1 Februari 2024.
Selain itu, data menunjukkan bahwa pasar Amerika memiliki minat besar terhadap film horor. Berdasarkan laporan dari berbagai platform streaming di Amerika Serikat tahun 2023, debut film dengan genre horor menempati posisi teratas dalam jumlah penonton. Tren tersebut juga terlihat pada Box Office Amerika Utara tahun 2024, di mana dari 10 film dengan pendapatan tertinggi, salah satunya adalah “Smile 2”, sebuah film bergenre horor [4]. Selain itu, film “Terrifier 3” dan “The Nightmare Before” turut masuk dalam jajaran film teratas, bersaing dengan genre lain seperti animasi, drama, dan aksi. Hal ini mengonfirmasi bahwa horor tetap memiliki basis penonton yang solid sekaligus daya tarik komersial yang kuat. Fakta ini menunjukkan adanya peluang besar bagi film Indonesia, khususnya dengan genre horor, untuk masuk dan bersaing di pasar perfilman global, terutama Amerika Serikat.
Horor, baik di Amerika maupun di Indonesia, memiliki kekhasan yang mencerminkan cara masyarakat memandang dunia gaib, ketakutan, serta dinamika sosial-budayanya. Meski berbeda latar, keduanya sama-sama menjadikan horor sebagai medium untuk menghadirkan hiburan sekaligus merefleksikan kondisi masyarakat.
Di Amerika Serikat, horor identik dengan tokoh-tokoh ikonik yang telah mendunia, seperti vampir pengisap darah atau drakula, zombie pemakan daging, dan monster jahat penyiksa. Karakter-karakter tersebut sering kali berakar pada mitologi Eropa dan tradisi literatur horor Barat. Popularitas tokoh-tokoh ini kemudian diperkuat oleh industri perfilman Hollywood yang mampu mengemas cerita horor dengan efek visual menakjubkan, menjadikannya daya tarik global. Horor Amerika cenderung menonjolkan aspek visual, efek kejutan (jump scare), dan simbolisasi ketakutan modern, seperti wabah, eksperimen sains yang gagal, atau kekuatan supranatural yang sulit dijelaskan.
Sebaliknya, di Indonesia, horor sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan lokal, serta kehidupan sehari-hari masyarakat. Tokoh-tokoh hantu dalam budaya Indonesia—seperti pocong, kuntilanak, tuyul, gendruwo, gundulpringis, hingga wewe gombel—merupakan figur yang lahir dari mitologi dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Sosok-sosok tersebut biasanya terkait erat dengan pengalaman masyarakat: kematian, kesedihan, balas dendam, maupun kepercayaan terhadap roh halus. Berbeda dengan horor Barat yang sering berhubungan dengan mitos asing bagi masyarakat Indonesia, tokoh hantu Nusantara terasa lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, sehingga menimbulkan rasa takut yang lebih personal bagi penonton.
Jika ditelusuri lebih dalam, sastra horor Indonesia juga berfungsi bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi juga sebagai cermin kehidupan sosial. Cerita-cerita horor yang mengangkat mitos lokal dapat memperkaya wawasan pembaca terhadap keberagaman budaya, adat, dan kepercayaan. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa sastra pada dasarnya adalah potret yang menangkap kenyataan, sekaligus refleksi budaya suatu masyarakat.
Dengan demikian, meskipun horor Hollywood dan horor Indonesia sama-sama berfungsi menghadirkan rasa takut dan hiburan, perbedaan mendasar terletak pada akar budaya, jenis tokoh, dan simbolisasi cerita. Horor Amerika lebih universal dan global dengan figur-figur yang mendunia, sementara horor Indonesia sangat kental dengan lokalitas dan kearifan tradisional yang mencerminkan keunikan budaya Nusantara. Justru perbedaan inilah yang menjadikan horor Indonesia memiliki potensi besar untuk tampil di kancah internasional, membawa kekayaan narasi lokal yang belum dikenal luas oleh masyarakat global.
*Artikel ini telah terbit di Suara Pembaruan, Minggu, 24 Agustus 2025
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus meme...