DIREKTUR Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai perlu ada penelusuran lebih jauh soal penangkapan personel TNI dalam gelombang demonstrasi berujung kericuhan dan kematian pada pekan terakhir Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut Usman, dugaan keterlibatan tentara ini perlu diusut tuntas. Sebab, masyarakat perlu mengetahui apa yang benar-benar terjadi dalam gelombang protes tersebut. “Enggak bisa TNI hanya mengatakan itu hoax lalu masalah selesai begitu saja, enggak bisa. Apalagi ada bantahan bahwa mereka seolah-olah memang melakukan tugas,” ucap Usman dikutip pada Jumat, 5 September 2025.
Ia menegaskan bahwa apabila ada anggota TNI terlibat dalam pengamanan unjuk rasa yang menggunakan kekerasan, maka dia harus diproses hukum. Usman menerangkan, TNI tidak bertugas menangani keamanan dalam negeri.
Fungsi yang melekat di TNI ialah sebagai alat pertahanan untuk mengatasi ancaman dari luar negeri atau yang Usman sebut sebagai “musuh asli”. “Jadi kalau TNI atau anggota TNI urusannya dibawa dalam urusan keamanan dalam negeri, muncul pertanyaan, ada apa?” ucap dia.
Usman mengkhawatirkan ada pihak-pihak yang memanfaatkan amarah masyarakat yang dipicu oleh kematian Affan Kurniawan. “Bisa saja ini urusannya bukan keterlibatan militer secara kelembagaan tapi lebih karena ada sejumlah kasus yang berkali-kali terjadi konflik antara personel TNI dengan personel polisi,” ujar Usman.
Lalu ketika amarah masyarakat bergeser dari DPR ke kepolisian, ada orang-orang yang memanfaatkan itu. Usman mencontohkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Menurut dia, pola kerusuhan kala itu terbagi menjadi dua. Pertama, kerusuhan itu bersifat sporadis atau terjadi karena spontanitas masyarakat.
Kedua, kerusuhan terjadi karena direkayasa. “Tapi kan siapa yang melakukan rekayasa itu? Bagaimana kita menjelaskan rekayasa itu di dalam konteks kejadian, misalnya Affan Kurniawan?” kata Usman.
Usman menegaskan perlu dilakukan penelusuran lebih jauh apakah pola kerusuhan 1998 dengan 2025 ini serupa. Maka dari itu, dia menilai pemerintah perlu membentuk tim gabungan pencari fakta yang independen untuk mengusut kejadian-kejadian dalam gelombang demonstrasi pada pekan terakhir Agustus 2025.
Di tengah-tengah gelombang protes yang memanas pada 30 Agustus 2025, sebuah video beredar luas dengan keterangan “Intel coba membakar pom bensin dekat Mabes Polri”. Rekaman itu menunjukkan seorang laki-laki mengendap-endap di dekat stasiun pengisian bahan bakar khusus. Ia kemudian ditangkap tak jauh dari Jalan Trunojoyo, alamat Markas Besar Polri. Polisi sempat menginterogasi laki-laki itu, namun akhirnya melepaskan dia setelah dijemput oleh petugas dari Pusat Polisi Militer TNI.
Dugaan keterlibatan militer dalam demonstrasi ini tak hanya berhenti di situ, sejumlah foto dan video penangkapan anggota TNI juga beredar di media massa. Di antaranya foto anggota Brigade Mobil menangkap laki-laki yang mempunyai kartu izin membawa senjata yang dikeluarkan Badan Intelijen Strategis (Bais) Mabes TNI. Pada kartu itu tercantum nama Sudi Suwarno, berpangkat mayor, dengan jabatan Dantim-2 Den IV Satintel Bais TNI.
Ada juga foto penangkapan dua tentara di Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Di Palembang, Komandan Satuan Brimob Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Susnadi menangkap Prajurit Satu Handika Novaldo yang diklaim ikut dalam kerusuhan pada Ahad dini hari, 31 Agustus 2025. Handika bertugas di Batalyon Kavaleri 5/Dwipangga Ceta atau Yonkav/5 Komando Kodam II/Sriwijaya, Sumatera Selatan.
Kepala Pusat Penerangan TNI Brigadir Jenderal Freddy pun buru-buru menyangkal adanya keterlibatan Bais ataupun personel TNI untuk memprovokasi demonstran. Freddy mengatakan tidak ada anggotanya yang menjadi provokator. "Perlu saya tegaskan bahwa tidak ada anggota TNI yang ditangkap Polri ataupun menjadi provokator. Itu narasi jahat, bohong, dan menyesatkan," kata Freddy saat dihubungi Tempo pada Ahad, 31 Agustus 2025.