Revyoni Parti Roha Situmorang
Politik | 2025-09-04 14:27:07
Gelombang demonstrasi belakangan ini tidak hanya memunculkan korban dari kalangan sipil, tetapi juga aparat. Ironisnya, penderitaan kedua pihak kerap luput dari perhatian, sementara elite politik yang jadi sasaran kritik justru tetap tenang di kursi empuknya. Situasi ini menuntut kita lebih bijak agar tidak terjebak provokasi yang hanya memperlebar jurang antarmasyarakat.
Beberapa hari terakhir, publik ramai membicarakan tragedi yang menimpa seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, yang kehilangan nyawa setelah terlindas kendaraan taktis. Kisah ini menyentuh banyak orang, karena korban adalah rakyat biasa yang hanya ingin mencari nafkah. Namun di sisi lain, ada pula aparat yang terluka bahkan kehilangan nyawa dalam kericuhan. Data dari Polda Jatim menyebutkan, dalam aksi ricuh di depan Gedung Grahadi, Surabaya, pada 29 Agustus 2025, enam polisi dan satu anggota TNI harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka yang cukup serius.
Sayangnya, cerita tentang aparat yang jadi korban jarang sekali mendapat sorotan. Kamera media dan diskusi publik lebih banyak tertuju pada penderitaan sipil, seolah-olah hanya satu sisi saja yang layak diperhatikan. Padahal, rakyat dan aparat sama-sama bukan pembuat kebijakan. Mereka berada di lapangan dengan posisi yang sama: menjadi pihak yang menanggung risiko paling besar.
Sementara itu, para elite politik yang kebijakannya diprotes tidak berada di garis depan. Mereka tidak terkena gas air mata, tidak ikut berdesakan di jalan, dan tidak perlu mengungsi karena kericuhan. Mereka bisa duduk tenang di ruangan ber-AC, menonton situasi dari layar televisi atau laporan staf. Inilah ironi besar demokrasi kita: rakyat dan aparat sama-sama terluka, sedangkan elite tetap aman.
Surabaya memberi gambaran jelas soal dampak kerusuhan ini. Api membakar Gedung Grahadi, warga resah, dan dunia pendidikan pun terganggu. Universitas Airlangga bahkan harus mengalihkan seluruh perkuliahan ke sistem daring selama seminggu penuh demi menjaga keselamatan civitas akademika. Bagi mahasiswa, ini bukan sekadar perubahan teknis. Ada rasa waswas, ada ruang belajar yang terasa terampas, karena suasana kota yang tidak kondusif.
Di sinilah pentingnya sikap bijak. Demonstrasi adalah hak konstitusional, tapi ketika berubah menjadi kerusuhan, yang muncul hanya trauma dan korban baru. Lebih berbahaya lagi, situasi panas semacam ini rawan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperkeruh keadaan, bahkan memecah belah rakyat dengan aparat.
Apalagi di era media sosial, provokasi menyebar lebih cepat dari logika. Video berdurasi singkat bisa memicu amarah massal, padahal sering kali tanpa konteks. Kita harus berhati-hati. Bijak bukan berarti diam, melainkan mengarahkan kritik pada sasaran yang tepat: kebijakan dan para pembuatnya, bukan orang-orang di lapangan yang sama-sama terhimpit keadaan.
Empati juga harus seimbang. Tidak adil jika kita hanya mengasihani korban sipil tanpa melihat aparat yang juga terluka atau gugur. Demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika kita mengakui kemanusiaan semua pihak. Tapi tentu, empati tidak boleh membuat kita kehilangan daya kritis. Elite politik tetap harus dimintai pertanggungjawaban, agar mereka tidak terus-menerus bersembunyi di balik konflik horizontal yang mengorbankan rakyat maupun aparat.
Ke depan, ada beberapa hal yang bisa diperbaiki. Pertama, negara perlu membuka lebih banyak ruang dialog agar aspirasi masyarakat tidak selalu bermuara di jalanan. Proses legislasi harus benar-benar transparan dan partisipatif. Kedua, pendidikan politik harus diperkuat. Rakyat perlu belajar menyuarakan pendapat dengan cara damai, sementara aparat perlu mengedepankan pendekatan humanis ketika mengawal aksi. Ketiga, media massa harus lebih adil dalam memberitakan, tidak hanya menonjolkan drama, tetapi juga menelusuri akar masalah dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
Demokrasi tidak boleh terus mengulang pola yang sama: rakyat marah, aparat terluka, elite tenang. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghadirkan keadilan, bukan sekadar panggung konflik.
Saya merasa kampus punya peran penting menjaga akal sehat masyarakat. Kampus bukan hanya ruang belajar teori, tetapi juga tempat membangun sikap kritis dan bijak. Mahasiswa harus tetap berani bersuara, tapi dengan rasionalitas, bukan dengan amarah semata. Suara mahasiswa seharusnya tidak hanya bergema di jalanan, tapi juga hadir sebagai tawaran solusi yang bisa memperkuat demokrasi kita ke depan.
Oleh Revyoni Parti Roha Situmorang, Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran dan Ilmu Alam Universitas Airlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.