
Di kaki Gunung Ciremai, di sebuah desa kecil bernama Cibeureum, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, tumbuh semangat besar dari seorang perempuan yang tak hanya menyeduh kopi, tapi juga meracik masa depan komunitasnya: Titi Nuryati, 34 tahun.
Awalnya, tak ada niat besar untuk menjadi pelaku utama di dunia kopi. Semua berawal secara tak sengaja dari sebuah festival seni internasional bernama Jagakali Art Festival di Cirebon.
Titi terlibat sebagai relawan logistik, dan saat itu membawa 10 kilogram kopi dari desanya untuk dibagikan ke peserta festival.
Tak disangka, aroma dan rasa kopi itu menarik perhatian peserta, salah satunya Mama Patih dari Keraton Kanoman, yang kemudian menyarankan untuk membuat merek sendiri.
Itulah titik baliknya. Saran dari Mama Patih menjadi pemantik semangat. Titi mulai belajar soal pengolahan kopi dari nol.
Awal Mula 'Sekarwangi'

Titi rajin berdiskusi dengan barista dan petani lain, bahkan menjalin relasi dengan para prosesor kopi dari Lampung, Kerinci, hingga Solok. Semua dilakukan dengan semangat otodidak dan gotong-royong.

Dari situ lahirlah Sekarwangi pada tahun 2018, brand kopi lokal dari Cibeureum yang kini menembus pasar internasional mulai dari Prancis, Belanda, Australia, Jepang, hingga Arab Saudi.
Meski pengiriman masih terbatas di bawah 10 kilogram per negara, langkah ini sudah membuka jalan luas bagi kopi robusta asal kaki Gunung Ciremai itu.
Bersama Perempuan Tangguh: KWT Srikandi

Kesuksesan Titi tak berhenti di kopi. Melihat peran aktif perempuan dalam proses panen dan pasca-panen, ia menggagas berdirinya Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi bersama ibu-ibu para istri petani kopi di daerahnya.
"Dimulai dari kegiatan sederhana seperti pengolahan hasil panen sayuran selama menunggu masa tunggu panen kopi atau masa paceklik kopi, kelompok ini berkembang menjadi komunitas pemberdayaan yang solid," ujar Titi kepada kumparan di rumahnya, Minggu (6/7).

Saat pandemi melanda, Titi mengungkapkan, mereka tak menyerah. KWT Srikandi justru makin produktif dengan program pemanfaatan lahan pekarangan yang didukung oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kuningan.
Mereka menanam tomat, kangkung, bayam, hingga kembang kol, yang sempat dipasok ke supermarket di Bandung melalui PT Antakadewa Agriculture.
"Setiap anggota kita kasih 30 polybags, mereka tanam di rumah. Lumayan untuk konsumsi sehari-hari. Cabai, kangkung, tomat, tinggal petik," ujar Titi.
Kopi Sebagai Napas Ekonomi

Kini, kelompok tani Sekar Manik Sejahtera dan KWT Srikandi mengelola lahan seluas 11 hektare milik sendiri, dan mendapat tambahan 20 hektare lahan garapan dari kerja sama dengan PT Geger Halang.
"Sistemnya bagi hasil, 60 persen kepada petani penggarap dan 40 persen untuk pemilik lahan," ujarnya.
Dengan varietas robusta unggulan seperti Tugu Ijo, Tugu Kuning, dan Tugusari, produksi kopi mereka bisa mencapai 20 ton per musim, tergantung cuaca.
"Namun tahun 2024 hanya menghasilkan sekitar 3 ton karena dampak El Niño yang menyebabkan gagal bunga," katanya.
Dari Lampung 1975
Titi menceritakan, kopi-kopi unggulan tersebut berasal dari Lampung, berawal pada tahun 1975 warga Cibeureum bertransmigrasi ke Lampung. Mereka di sana menanam kopi dengan diberi lahan satu hektare per kepala keluarga (KK).
“Pada tahun 1982, warga Cibeureum kembali ke sini termasuk bapak saya dengan membawa kopi varietas unggulan dari lampung dan ditanam di sini,” ujarnya.
Titi menjelaskan dari bunga kopi hingga waktu panen membutuhkan waktu sekitar 8 bulan hingga 9 bulan lamanya.
“Dari hasil panen hingga biji kopi layak di-roasting membutuhkan waktu pengeringan atau penjemuran sekitar 14 hari hingga 20 hari,” jelasnya.
Sedangkan waktu panen pun terbagi tiga kali, biji pertama panen biasanya diambil yang sudah terkena atau dimakan hama.
Panen keduanya, dengan jarak beberapa hari dari panen pertama, diambil buah kopi yang sudah matang. Panen ketiganya dengan jarak waktu yang sama diambil semua baik yang matang atau belum matang.
“Jadi biji kopi pilihan itu saat panen kedua, sedangkan biji kopi pertama dan kedua kualitasnya kurang bagus, karena campur antara biji kopi matang dan belum matang,” ungkapnya.
Dari Tanah ke Cangkir Dunia

Pengolahan kopi masih dilakukan secara tradisional, dengan metode penjemuran alami yang bergantung pada matahari. Meski teknologi belum sepenuhnya merata, kualitas kopi mereka tetap bisa bersaing.
"Ada mesin pengering, tapi rusak. Jadi sekarang kalau pengin cepat pengeringan ke tempat lain yang ada mesin pengering," katanya.

Titi memasarkan produknya lewat media sosial, terutama Instagram, yang menjadi jembatan komunikasi dengan pelanggan luar negeri.
Produknya kini mencakup kopi bubuk, coffee blend, hingga kopi sachet instan yang praktis.
"Harga kopi robusta Sekarwangi dibanderol sekitar Rp 140.000-150.000 per kilogram. Sementara kopi arabika wine bisa mencapai Rp 85.000 per 200 gram," tuturnya.
Lebih dari Sekadar Petani

Menutup perbincangan, Titi menyampaikan harapannya untuk generasi muda.
“Jangan pernah malu menjadi petani, karena petani itu adalah penyangga tatanan negara. Kita bisa menghidupi keluarga dan berkontribusi untuk negeri ini hanya dengan menanam dan merawat tanah," ujarnya.

Kisah Titi adalah kisah tentang ketekunan, kreativitas, dan keberanian bermimpi besar dari desa kecil. Dari sebongkah tanah Cibeureum, aroma kopi Sekarwangi kini melanglangbuana, menyeduh dunia dengan cita rasa lokal yang mendunia.
Titi membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil, bahwa kopi bukan sekadar minuman, tapi jembatan menuju kemandirian dan harapan.

