Forum Warga Negara menggelar diskusi terkait isu-isu terkini yang terjadi di Jakarta dan sejumlah daerah. Forum Warga negara terdiri dari Chandra Hamzah, Sukidi, Diah Satyani Saminarsih Shofwaan Al Banna Choiruzzad hingga Sudirman Said.
Chandra Hamzah ketika membuka diskusi itu mengatakan, “Saya lebih menyukai diksi ‘pengurus negara’ daripada ‘pemerintah’ karena Indonesia adalah negara pengurus, bukan negara penguasa,” kata Chandra Hamzah pada acara jumpa pers Forum Warga Negara di Jakarta Selatan, Minggu siang (31/8).
Diksi “pengurus negara” muncul di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, akhir Mei 1945, terutama oleh Mohammad Yamin, untuk menamai sesuatu yang kini lazim disebut “pemerintah” (eksekutif, legistlatif, yudikatif).
Barisan pengurus negara, kata Yamin, sepatutnya diisi oleh “orang-orang berilmu dan berakal sehat yang dipilih atas paham perwakilan.”
Hari-hari terakhir, bagaimana gerangan perilaku dari pengurus negara kita? Jawab Chandra, “Mbokya eling, kalian itu pengurus, bukan penguasa. Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat sebab pemegang saham Republik, satu-satunya, ya rakyat. Jika kesadaran ini diresapi betul oleh pengurus negara, pasti kita tidak sekacau sekarang. Martir dan korban berjatuh, pada mana kita berbelasungkawa dan menyayangkan.”
Sukidi mengafirmasi, “Betul sekali, rakyat itu tuannya. Pengurus negara semata hamba atau abdinya rakyat. Maka, hanya jika para pengurus menjalankan fungsinya sebagai pengabdi/pelayan, impian kita akan keadilan sosial itu akan lebih mudah tercapai.”
Jadi, imbuhnya, ketika rakyat marah, itu harus jadi wake up call kita. Itu gumpalan dari ketidakadilan yang intens dipraktikkan, ditambah pongahnya wakil rakyat yang, di tengah penderitaan rakyat, begitu memuja uang dan kuasa. Walhasil, timpal Sudirman Said, maraklah defisit legitimasi dan kredibilitas. “Rakyat mengalami declining trust ‘surut kepercayaan’ kepada pengurus negara karena perilakunya jauh dari amanah.”
Dari tinjauan sektor kesehatan, Diah Saminarsih berharap, kerusuhan tidak berlarutlarut. “Layanan kesehatan masyarakat pasti terganggu. Jika obat atau alat medis susah didapat, maka tindakan medis pun ikut susah. Ketika kekecewaan rakyat terekskalasi menjadi kerusuhan, negara harus berlekas hadir melakukan de-ekskalasi.”
Dalam pandangan Forum Warga Negara, kekacauan akhir-akhir ini harus dijadikan momentum untuk mengoreksi mental model alih-alih melakukan “koreksi total” atas hidup berbangsa-bernegara. Perilaku para founding parent bisa dan harus kita teladani. Utamakan solusi yang bersibuk bukan hanya di permukaan-permukaan, tapi harus sampai ke akar masalahnya, yakni memangkas praktik-praktik ketidakadilan. Jiwai betul kesulitan rakyat agar punya empati dan solidaritas sesama.
Untuk itu, Forum Warga Negara mendorong dilakukannya cara-cara berkeadaban:
1. Kepada masyarakat: Turunkan suhu kegeraman. Sebagai saudara sebangsa dan seTanah Air, tumbuhkan etika bela-rasa (the ethics of compassion), sesuatu yang pernah kita tempa dan rasakan kehadirannya selama pandemi Covid-19. Bersetialah pada spirit keadaban, kesejukan, dan protes yang nir-kekerasan. Jangan menjarah, itu hak orang yang saudara kita juga, dan agama apa pun pasti melarangnya.
2. Kepada tokoh masyarakat: pengurus negara kita tengah tersesat, maka ulurkan kami obor, bukan api. Mari bersatu kawal suara rakyat. Kita percaya, nir-kekerasan adalah pendekatan yang lebih benar dan lebih baik daripada kekerasan.
3. Kepada pengurus negara:
a. Secepat mungkin kendalikan keadaan agar kepercayaan publik kembali. Lakukan koreksi-koreksi. Kedaulatan rakyat hanya akan pulih jika Anda mengutamakan kepentingan seluruh warga negara, bukan berdiri di atas kepentingankepentingan sempit apalagi gelap.