
Jakarta menghadapi ancaman serius akibat penurunan tanah hingga 25 cm per tahun ditambah kenaikan muka laut. Jika tidak ada langkah besar, sebagian wilayah Jakarta Utara bisa hilang pada 2050. Salah satu proyek yang disebut sebagai penyelamat adalah Giant Sea Wall (GSW) senilai lebih dari US$40 miliar. Namun, masih muncul pertanyaan, apakah proyek ini realistis atau hanya sekadar mimpi besar?
Peneliti Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Universitas Insan Pembangunan Indonesia Anto Prabowo, dalam konferensi internasional SMICDE di Solo, menekankan perlunya inovasi pembiayaan untuk mewujudkan Jakarta Great Sea Wall (GSW). Sebelumnya GSW sudah dirancang berkat kolaborasi riset bersama UNS, Amentis Institute, dan University of Glasgow.
Sebagai bagian dari National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), GSW dirancang bukan hanya sebagai benteng menghadapi banjir rob dan kenaikan air laut, melainkan juga sebagai proyek multifungsi. Itu melingkpi perbaikan drainase kota, reklamasi pesisir, rehabilitasi mangrove, serta pembangunan kawasan hunian, bisnis, dan logistik baru yang ditargetkan bertahan hingga 2100.
Pemerintah mengklaim GSW berlandaskan keadilan sosial dan ekologis, dengan relokasi berbasis hak, kompensasi adil, dan dukungan mata pencaharian baru bagi masyarakat pesisir. Selain itu, proyek ini diselaraskan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 11 dan 13.
Dari sisi pembiayaan, GSW mengusung skema hybrid climate finance melalui instrumen inovatif seperti Asset Value Protection (AVP), Viability Gap Funding (VGF) dari APBN untuk komponen nonkomersial, Green Sukuk, hingga Asset-Backed Securities (ABS) dari pendapatan reklamasi. Model ini dinilai mampu menarik modal swasta tanpa membebani keuangan negara.
Anto menegaskan proyek dengan biaya jumbo ini mustahil ditanggung APBN sendiri. “Solusinya adalah blended finance, memadukan dana publik, swasta, dan investor global. Tapi kunci keberhasilan ada pada tata kelola kolaboratif, transparansi, serta kepatuhan ESG agar investor mau masuk,” ujarnya.
Jika terealisasi, GSW berpotensi menjadi model adaptasi iklim global. Dampak ekonominya meliputi penciptaan nilai properti baru hingga US$25 miliar, lahirnya kawasan bisnis dan industri baru, ratusan ribu lapangan kerja, serta efisiensi biaya pengendalian banjir senilai US$600 juta per tahun.
“GSW bukan hanya mencegah kerugian, tapi juga menciptakan nilai ekonomi baru. Prinsip asset value protection dan asset value creation harus berjalan beriringan,” tandasnya. (E-3)