Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan masyarakat agar semakin waspada terhadap maraknya praktik penipuan yang memanfaatkan teknologi digital, termasuk artificial intelligence (AI). Seiring berkembangnya teknologi, para pelaku kejahatan keuangan memunculkan beragam modus baru untuk menjebak korban.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyebut masyarakat kini semakin rentan terhadap kejahatan digital.
“Beberapa modus yang saat ini sedang marak terjadi di masyarakat ini adalah impersonation, meniru atau menduplikasi identitas berizin atau leka. Kemudian penawaran investasi dengan tugas tertentu, misalnya meminta masyarakat me-like dengan imbalan tertentu tapi kemudian diminta untuk men-transfer jumlah yang lebih besar dan akhirnya hilang. Kemudian penawaran investasi berkedok perdagangan aset kripto,” kata perempuan yang akrab disapa Kiki dalam konferensi pers, Kamis (4/9).
Selain itu, OJK juga menemukan maraknya penipuan berkedok robot trading, penawaran AI, hingga penggunaan SMS palsu (fake SMS masking). Salah satu modus terbaru adalah pemalsuan bukti transfer dengan teknologi AI. Praktik-praktik tersebut, menurut OJK, masuk dalam kategori social engineering yang menjerat korban dengan cara mengecoh dan memanipulasi psikologis.
Kiki menyebut, para pelaku biasanya menyamar sebagai pihak resmi, seperti customer service perusahaan jasa keuangan, agen perjalanan, lembaga pemerintah, atau penyedia internet. Mereka kemudian meminta data pribadi seperti PIN dan OTP, sehingga korban menyerahkan akses akun keuangan mereka tanpa disadari.
Penggunaan AI dalam kasus penipuan juga kian meningkat. Pada Agustus lalu, OJK menerima tiga laporan pengaduan yang berkaitan dengan ancaman penyebaran foto yang sudah diedit menggunakan AI.
"Jadi ini sebenarnya untuk menakuti dan lain-lain tapi sebenarnya digunakan AI dan juga penyelenggaraan data dengan memanfaatkan AI untuk membuka rekening,” ujarnya.
Berdasarkan catatan OJK hingga akhir Agustus, ada sepuluh modus penipuan yang paling banyak digunakan. Dari jumlah tersebut, penipuan belanja online menempati posisi teratas dengan 44.877 laporan atau 18,8 persen dari total aduan. Disusul penipuan mengaku pihak lain atau fake call sebanyak 24.723 laporan (10,4 persen). Sementara itu, penipuan investasi, penawaran kerja palsu yang kerap menargetkan anak muda, serta penipuan hadiah juga tercatat menjerat banyak korban.
OJK menegaskan pentingnya kewaspadaan publik dalam menyikapi berbagai tawaran yang tidak masuk akal.
“Jadi kami terus mengimbau kepada masyarakat, terima kasih rekan-rekan media yang selalu menyuarakan juga agar masyarakat selalu mengedepankan legal dan logisnya. Jadi pertama harus cek legalitasnya dan kedua logis atau enggak setiap penawaran ya,” kata Kiki.
OJK juga mendorong literasi dan edukasi keuangan secara berkelanjutan, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan. Supaya masyarakat tidak mudah terjebak dalam penawaran yang menjanjikan keuntungan instan.