Eki Baihaki
Politik | 2025-09-03 17:17:21
Di tengah riuhnya demokrasi, aspirasi rakyat sah untuk disuarakan. Konstitusi memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, bahkan mengkritik kekuasaan. Namun, kebebasan seringkali kehilangan makna ketika diperjuangkan dengan cara-cara anarkis. Anarki tidak pernah menghadirkan solusi; ia hanya menyisakan luka, kerusakan, dan perpecahan.
Dalam situasi seperti inilah bangsa kita membutuhkan sosok muadzin kebangsaan, penyeru moral yang memanggil rakyat kembali ke jalan damai.Penyeru persatuan, merawat dan menjaga akal sehat publik, dan mengingatkan bahwa demokrasi sejati tumbuh dari musyawarah, bukan dari amarah.
Dalam sistem demokrasi, aspirasi rakyat adalah hal yang sah untuk disuarakan. Konstitusi memberi ruang bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, namun, yang kerap menjadi persoalan bukan pada substansi aspirasi, melainkan pada cara memperjuangkannya.
Aspirasi yang baik akan kehilangan makna ketika diperjuangkan dengan cara-cara anarkis. Anarkisme tidak pernah melahirkan solusi; ia hanya meninggalkan luka, kerusakan, dan trauma sosial. Dalam banyak kasus kita menyaksikan bagaimana demonstrasi yang bermula dari semangat memperjuangkan keadilan berubah menjadi tindakan destruktif.
Panggilan muadzin kebangsaan menjadi penting karena dalam hiruk pikuk politik, suara jernih kerap tenggelam oleh kebisingan konflik. Demokrasi memang memberi ruang pada perbedaan, tetapi perbedaan yang tidak diarahkan bisa berubah menjadi permusuhan apalagi konflik sesama anak bangsa.
Bahaya Anarkisme
Anarkisme dalam praktik politik sering kali dimulai dari ekspresi aspirasi yang wajar, lalu berubah menjadi ledakan amarah yang destruktif. Ia merusak wajah demokrasi karena menempatkan kekerasan di atas musyawarah, amarah di atas akal sehat. Ketika anarki merajalela, yang hancur bukan hanya fasilitas publik, tetapi juga kepercayaan sosial yang menjadi fondasi bangsa.
Dampak anarkisme ibarat api yang membakar persaudaraan. Solidaritas rakyat terbelah, rasa percaya pada institusi melemah, dan energi bangsa habis terseret dalam konflik horizontal. Jika dibiarkan, ia bisa menumbuhkan apatisme, menurunkan legitimasi demokrasi, bahkan membuka celah bagi munculnya otoritarianisme dengan alasan “menertibkan keadaan.”
Kita bisa melihat, anarkisme sering kali tumbuh subur ketika elite politik gagal memberi teladan. Perselisihan yang kasar di tingkat elite bisa memicu ketegangan di akar rumput. Rakyat kemudian mudah terseret dalam arus provokasi, sehingga aspirasi yang mulanya murni berubah menjadi tindakan yang merugikan banyak pihak.
Indonesia memiliki warisan kearifan lokal yang relevan untuk menghadapi tantangan bangsa. Dalam falsafah Sunda, ada ungkapan “silih asah, silih asih, silih asuh”—saling mengasah pengetahuan, saling mengasihi dengan kasih sayang, dan saling mengasuh dengan bimbingan. Filosofi ini sejalan dengan prinsip kebangsaan yang menekankan gotong royong.
Ketika aspirasi rakyat diekspresikan dalam semangat silih asah, maka ia menjadi wacana yang mencerahkan. Ketika ia diperjuangkan dengan silih asih, maka ia membangun solidaritas. Dan ketika ia dibingkai dalam silih asuh, maka ia melahirkan kepedulian sosial. Semua itu berbanding terbalik dengan anarkisme yang menebar kebencian, memutus persaudaraan, dan merusak kehidupan bersama.
Peran Cendekiawan
Peran cendekiawan menjadi sangat penting saat ini. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi muadzin kebangsaan, penyeru damai, pengingat akal sehat, sekaligus penuntun masyarakat agar tidak terseret pada jalan anarki. Cendekiawan bukan sekadar pengkritik kebijakan, tetapi juga penjaga nilai, penyampai kearifan, dan penenang suasana.
Sejarah bangsa menunjukkan, suara cendekiawan kerap menjadi cahaya di tengah gelapnya konflik. Mereka hadir di ruang publik untuk memberikan pencerahan, mengedepankan argumentasi rasional, sekaligus menanamkan kesadaran etis. Dalam Islam, peran ini sejatinya merupakan wujud nyata dari tugas amar ma’ruf nahi munkar: menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan menjaga kehidupan dari kerusakan.
Cendekiawan yang bersuara jernih akan menjadi jangkar moral bagi demokrasi. Berlandaskan iman, ilmu, akhlak, dan keberanian moral menyuarakan kebenaran dan Solusi komprehensif. Dan aspirasi rakyat hanya akan bernilai bila diperjuangkan tanpa merusak persaudaraan.
Dalam bahasa kearifan lokal Sunda: “silih asah, silih asih, silih asuh”—saling mengasah pengetahuan, saling mengasihi dengan kasih sayang, dan saling mengasuh dengan bimbingan. Nilai itu sejalan dengan tugas cendekiawan: mengasah nalar publik, mengasihi bangsa lewat pengabdian, dan mengasuh generasi agar tetap di jalan kebajikan dan harmoni.
Bangsa kita perlu memiliki banyak muadzin yang tidak pernah lelah mengumandangkan seruan kebangsaan yang tidak boleh berhenti. Harus terus diulang, ditegaskan, dan digemakan. Muadzin kebangsaan adalah mereka yang konsisten menyerukan damai meskipun tidak populer, menegakkan kebenaran meski berhadapan dengan arus besar, serta menjaga martabat publik meski dunia politik semakin gaduh.
Dalam konteks ini, setiap orang pada dasarnya bisa menjadi muadzin kebangsaan. Dengan kapasitas yang dimiliki, dengan menyuarakan kebaikan, menolak kekerasan, dan mengajak kepada persaudaraan. Ketika suara-suara itu bergema dari banyak arah, dan banyak orang, bangsa akan lebih kokoh dan penuh harmoni.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.