Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Dida Gardera, mengatakan Indonesia menantikan respons lanjutan dari Uni Eropa terkait negosiasi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
“Ya, terakhir kita menyampaikan segera pertanyaan buat mereka secara tertulis. Janjinya mereka akan menjawab secara tertulis juga,” kata Dida seperti dikutip dari Antara, Kamis (3/7).
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa (EU) menggelar dialog bilateral untuk membahas EUDR pada 4 Juni 2025 di Brussel, Belgia.
Dida mengatakan, dalam pertemuan itu, Indonesia meminta klarifikasi mengenai berbagai hal terkait EUDR, mulai dari dasar hukum dan metodologi klasifikasi risiko, pengakuan terhadap sistem legalitas nasional, potensi ketidaksesuaian dengan aturan WTO, serta beban administratif terhadap petani kecil terkait kewajiban geolokasi dan pelacakan digital.
“Tentang country benchmarking, artinya kan kita mempertanyakan metodologinya. Kemudian juga ada beberapa hal, yang paling utama yang kemarin kita sampaikan itu terkait dengan smallholder,” ujar Dida.
Dia menilai upaya ini penting karena kebijakan tersebut dapat berdampak langsung kepada petani-petani kecil atau smallholders. Sebab, lebih dari 90 persen produsen kopi dan cokelat Indonesia, dikelola oleh para petani kecil.
Selain itu, Dida mengatakan Uni Eropa juga perlu melihat metode budidaya kopi dan cokelat Indonesia yang menggunakan pendekatan agroforestri.
“Untuk kopi di Pulau Jawa ini yang dikelola oleh Perhutani itu, 23 persen pekebun kopi kita itu berada dalam kawasan hutan. Nah ini bukan merusak hutan, bukan,” kata Dida.
“Jadi memang, cara berbudaya, budidayanya kan seperti itu, agroforestri. Nah, jadi kita enggak mungkin kalau (mengikuti) model EUDR, hutan (produksi) harus terpisah gitu, ya. Untuk kopi dan kakao itu tidak mungkin, kalau untuk sawit, mungkin,” imbuhnya.
Adapun EUDR sendiri mengharuskan perusahaan untuk memastikan bahwa produk yang mereka tempatkan di pasar Uni Eropa bebas dari deforestasi. Artinya, produk tersebut tidak diproduksi di lahan yang telah mengalami deforestasi atau berkontribusi terhadap degradasi hutan.
Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, mengatakan ada diskriminasi dalam penerapan kebijakan EUDR. Menurut dia, ada juga proposal dari Uni Eropa yang mengecualikan peraturan EUDR kepada petani-petani setempat.
“Lalu ada proposal baru dari Uni Eropa, yaitu mengecualikan petani Eropa dari EUDR, dengan meng-introduce, memasukkan satu standar baru namanya negligible risk. Negligible risk ini hanya berlaku untuk petani Uni Eropa,” kata Havas.
“Jadi ini kalau diterima, ini jelas melakukan diskriminasi lagi. Ada aturan yang hanya berlaku untuk petani Eropa, dan perlakuan yang berlaku untuk petani di luar Eropa,” ujarny...