Cringe culture adalah fenomena yang berkembang seiring dengan masifnya penggunaan media sosial. Cringe culture merujuk pada kebiasaan orang-orang menghina atau mengejek orang lain dengan sebutan ‘cringe’.
Dikutip dari Dictionary Cambridge, cringe berarti jijik, ngeri, atau konyol. Istilah ini juga sering digunakan untuk menunjukkan bahwa kamu menganggap sesuatu sangat memalukan.
Dalam fenomena cringe culture, kata cringe digunakan secara serampangan kepada siapa pun yang membuat karya. Padahal, karya tersebut sebenarnya nggak merugikan atau menghina siapa pun.
Misalnya, seseorang menulis puisi tapi malah dicap cringe. Contoh lainnya, kreator konten yang membuat konten review kosmetik, lalu kolom komentarnya dibanjiri kata “cringe”. Budaya ini akhirnya membatasi orang-orang untuk berkarya, sebab mereka takut mendapat penghakiman dari orang lain.
Penulis asal Amerika, Ocean Vuong, juga menyoroti fenomena cringe culture yang berkembang belakangan ini. Dalam wawancaranya dengan ABC News, ia mengatakan:
“Ada semacam budaya pengawasan di media sosial, dan mereka akan berkata, 'Aku ingin jadi penyair. Aku ingin jadi penulis yang baik, tapi agak cringe, kan?’.”
Vuong merasa pemikiran semacam itu mengerikan dan berupaya menghapuskan cringe culture. Ia ingin menciptakan lingkungan di mana setiap usaha dihargai dan tidak dipandang sebagai kegiatan yang mempermalukan diri sendiri.
Kalau menurut pandangan teman kumparan gimana, ya? Yuk, dengar pendapat mereka di bawah ini.
Fenomena Cringe Culture Menurut teman kumparan
Menurut teman kumparan Citra, cringe culture adalah tren yang mungkin terlihat iseng, tapi sebenarnya toxic. Sebab, komentar semacam itu seolah-olah memaksa segala hal harus sesuai dengan standar pribadi seseorang.
“Kayak semua hal harus sesuai ...