Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Infeksi dan Penyakit Tropik IDAI, Prof. Dr. dr. Edi Hartoyo, Sp.A, Subs.IPT(K) menyebut, meskipun jumlah kasus suspek campak pada awal tahun 2025 menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, risiko Kejadian Luar Biasa (KLB) tetap tinggi.
“Penemuan kasus campak di tahun 2024 memang menurun 34 persen dibandingkan 2023. Lalu 2025 penemuan kasus suspek campak periode Januari-Februari menurun 28 persen dibanding periode Januari-Februari 2024. tetapi hal ini hati-hati karena status imunisasi kita masih belum bagus, sehingga ada risiko Kejadian Luar Biasa (KLB) yang seperti terjadi sekarang,” kata Prof. Edi dalam acara webinar bersama IDAI, Rabu (27/8).
Risiko Penularan Campak Lebih Tinggi dari COVID-19
Salah satu hal yang membuat campak berbahaya adalah tingkat penularannya yang sangat tinggi. Dalam istilah epidemiologi, dikenal istilah basic reproduction number (R0) yaitu angka yang menunjukkan potensi penularan penyakit dari satu individu ke individu lain.
"Ada istilah risiko penularan, R0, itu kalau COVID-19, 8-10 sedangkan campak itu 12-18. Apa artinya? Kalau satu anak kena campak maka, ada risiko dia bisa menularkan ke 12-18 anak, sedangkan COVID-19 tidak setinggi itu," jelas Prof. Edi
Dengan tingkat penularan setinggi itu, campak menjadi salah satu penyakit yang paling mudah menyebar di tengah masyarakat, terutama jika kekebalan kelompok (herd immunity) belum terbentuk secara optimal.
Isolasi Penting untuk Mencegah Penularan
Prof. Edi juga mengingatkan pentingnya isolasi bagi anak yang terinfeksi campak, guna mencegah penularan ke anak-anak lain. Isolasi sebaiknya dilakukan sejak demam pertama hingga ruam kulit (rash) berubah warna menjadi gelap, menandakan masa penularan telah berlalu.
“Kalau ada anak yang kena campak, maka sebaiknya diisolasi mulai dari dari demam pertama sampai kira-kira demamnya turun, rash yang dulunya merah jadi hitam,” tegasnya.