Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menduga kuat ada pengerahan anak-anak atau pelajar pada sejumlah demo yang berlangsung pada 25 - 30 Agustus. Sebab, pada setiap demo yang digelar, selalu ada pelajar atau anak-anak yang terlibat.
"Ada fenomena, kenapa pelajar dilibatkan? Yang dikhawatirkan, mereka jadikan pelajar jadi tameng. Dan mereka paham, mereka, pelajar yang tertangkap, mudah dikembalikan," kata Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, di Kantor Komnas HAM, Selasa (2/9).
Menurut catatan KPAI, dari semua demo yang digelar di sejumlah daerah, setidaknya ada lebih dari satu pelajar atau anak sekolah yang tertangkap.
Contohnya, di Yogyakarta ada 15 anak, Semarang 17 anak, Kebumen 13 anak, Pekalongan 21 anak, Wonogiri 7 anak, Balikpapan 9 anak, NTB ada 5 anak, Solo 15 anak, Kediri 3 anak, Surabaya 8 anak, dan Bandung 11 anak.
Sementara jumlah anak yang ada di Jabodetabek jumlahnya lebih banyak.
"KPAI mendampingi baik di lapangan sampai di kepolisian sejak aksi 25,28,29 Agustus, kerusuhan 30 dan 31, ini kami dapatkan data, yang di daerah DKI Jakarta, pada 25 Agustus ada 150 anak di Polda Metro Jaya," kata Diyah.
Data terkini, masih ada 15 orang anak yang ada di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, sementara di Jakarta Utara ada 7 orang anak.
"Hingga saat ini belum dikembalikan ke orang tua," kata Diyah.
Diyah membaca ada yang menggerakkan para pelajar ini secara masif. Sebab, ada pola yang berbeda antara anak dan pelajar yang turut dalam demo putusan MK pada 2024.
"Kami khawatir, pelajar ini secara masif digerakkan. Secara perencanaan, semuanya pelajar ada," kata Diyah.
Analisa KPAI, saat demo tolak putusan MK pelajar bergerak secara organik. Mereka banyak turut serta dalam demo karena percakapan chatting game online.
"Ketika tolak putusan MK, kami analisa, pengerahan massa lewat game online, organik, salah satunya. Hari ini, mereka dapat broadcast atau WA, dan yang memprihatinkan rata-rata mereka dapat info dari Alumni. Dan difasilitasi, ini jadi catatan besar bagi kami," tutup Diyah.
KPAI juga terus mengawal proses hukum para pelajar yang masih ditahan polisi ini. Sebab banyak dari mereka menerima perlakuan tak manusiawi, tindakan represif, serta pengenaan pidana umum (KUHP).
"Kami temukan banyak upaya di lapangan yang mohon maaf, anak-orang dewasa diperlakukan sama. Ada yang dipukul dan sebagainya, yang semestinya tak terjadi pada anak-anak, kami berharap APH Pemerintah itu hadir, terutama di proses hukum, karena mereka punya hak dilindungi," tutup Diyah.