
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengapresiasi langkah DPR RI yang menghentikan tunjangan rumah dan menyesuaikan tunjangan lain hingga menerima take home pay Rp65 juta. Namun demikian, Lucius menyoroti tunjangan lainnya yang tidak diungkapkan oleh pimpinan DPR selain take home pay, yakni tunjangan reses, tunjangan aspirasi, dan rumah aspirasi
Ia mengatakan tunjangan-tunjangan terkait reses dan aspirasi memang tak diberikan setiap bulan tetapi setiap kali reses dan kunjungan ke daerah pemilihan. Adapun, jumlah kunjungan seorang anggota ke daerah pemilihan sebanyak 12 kali kunjungan yang dibagi dalam 3 kluster, yakni kunjungan pada masa reses (5 kali), kunjungan pada masa sidang dan atau masa reses (1 kali setahun selama 5 hari), kunjungan diluar masa reses dan diluar masa sidang (6 kali setahun).
"Kalau ditotal jumlahnya menjadi 12 kali. Itu artinya tunjangan reses dan kunker ke dapil sama saja dengan tunjangan-tunjangan bulanan lain itu. DPR nampaknya hanya mau mengakali supaya tidak terlihat menjadi bagian dari take home pay, sehingga tunjangan kunker ini dibikin jadi semacam tunjangan per kunjungan saja," kata Lucius melalui keterangannya, hari ini.
Selain kunjungan ke dapil, DPR RI juga menerima pendapatan dari kunjungan kerja komisi ke luar negeri. Ia mengatakan mestinya pimpinan DPR sekaligus menjelaskan soal kunjungan kerja beserta klasifikasi tunjangannya masing-masing.
"Moratorium kunjungan keluar negeri tidak seberapa jika dibandingkan dengan kunjungan-kunjungan anggota ke dapil dengan jumlah keseluruhan menjadi 12 kali kunjungan," katanya.
Lucius juga menyoroti penyesuaian tunjangan dari anggota DPR merupakan hasil kesepakatan saja. Padahal, kata ia tunjangan-tunjangan itu punya dasar hukum. Oleh karena itu, tugas mendasar yang lebih penting adalah menata kembali aturan-aturan terkait gaji dan tunjangan pejabat DPR.
"Ada UU terkait gaji pejabat yang tak direvisi sejak tahun 1980. Berikutnya beberapa aturan turunan terkait tunjangan yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah sejak tahun 1990-an. Ini kan banyak sekali peraturan turunan yang usianya sudah lama. Dan seharusnya momentum evaluasi yang dilakukan DPR, juga menyasar hal yang lebih mendasar yaitu terkait dengan aturan-aturan yang sudah sangat lama tidak direvisi," pungkasnya. (Faj/P-1)