Wakil Ketua Komisi XI DPR, Mohamad Hekal, menegaskan persoalan pajak tidak bisa dilepaskan dari fungsi negara. Dia mengingatkan agar taat dalam membayar pajak
“Ya, pajak kan kita harus bayar ya itu fungsi kita berjalan sebagai bernegara itu kan ini apa namanya, ya pajak harus bayar lah,” ujar politikus dari Partai Gerindra tersebut di Kompleks Parlemen, Rabu (3/9).
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai ajakan boikot pajak sebenarnya bukan hal baru, selalu muncul sporadis ketika ada momentum yang membuat emosi masyarakat meningkat.
“Selama ini ajakan tersebut tidak terlalu efektif karena sifatnya sporadis ketika ada momentum yang membuat emosi masyarakat. Ajakan tersebut sangat rasional di satu sisi karena perilaku segelintir pejabat publik yang dianggap melukai hati rakyat,” jelasnya.
Prianto menambahkan, seruan tersebut tidak cukup serius mengancam penerimaan negara. Hal itu karena sumber penerimaan terbesar justru berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dia merinci, penerimaan PPh berasal dari PPh badan dan PPh Pasal 21 yang dipotong pemberi kerja, sedangkan PPN terdiri dari PPN dalam negeri yang dipungut di setiap transaksi, serta PPN impor yang langsung dibayar dalam setiap transaksi impor.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengingatkan bahwa pajak selama ini menjadi penopang utama masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Bukan soal target penerimaan, penerimaan pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat menengah - bawah, terutama masyarakat miskin. Selama ini APBN digunakan sebagai bantalan untuk masyarakat miskin melalui berbagai bantuan sosial dan subsidi. Kalau tidak ada pajak, merekalah yang paling terdampak,” ucapnya.
Fajry menegaskan, ide boikot pajak justru akan memperburuk keadaan. Dia menyebut banyak layanan publik yang dibiayai dari pajak, mulai dari gaji guru, perawat, dan dokter, sekolah negeri gratis, BPJS kesehatan, hingga subsidi listrik, BBM, dan gas 3 kg.
“Alokasi APBN untuk anggota DPR sangat kecil dibandingkan sokongan APBN bagi masyarakat miskin dan menengah. Kalau kita melakukan pemboikotan bayar pajak, kelas menengah-bawah lah yang akan paling banyak terdampak bukan anggota DPR. Jelas, itu sebuah ide yang sangat buruk,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Fajry, ajakan boikot juga tidak akan efektif. Pasalnya, penerimaan pajak Indonesia sebagian besar ditopang oleh PPh Badan dan PPN. Korporasi, kata dia, tidak mungkin melakukan boikot, sementara PPN selalu dipungut di level penjual.
“Sedangkan pajak perorangan, sebagian besar dipungut pemberi kerja. Hampir tidak ada ruang untuk melakukan pemboikotan,” katanya.