Tren olahraga terutama aktivitas lari belakangan ini menjadi tren di kalangan Gen z, di media sosial banyak sekali anak-anak muda memamerkan foto finish line,memegang medali hasil ikut event lari, hingga membuat story di Instagram mengenai pencapaian jarak tempuh lari yang dicapai. Berdasarkan fenomena ini, mulai muncul beragam asusmi bahwa Gen z cenderung memiliki pola hidup yang lebih sehat, benarkah demikian?
Jawabannya masih simpang siur, gen z dikenal cenderung memiliki kesenangan dalam mengikuti tren sosial yang sedang viral, dan takut ketinggalan zaman—Fear of Missing Out (FOMO). Bagi mereka lari bukan sekedar menjaga pola hidup sehat melainkan tapi untuk kebutuhan konten di media sosial, contoh nyata seringkali ditemukan sebagian besar pengguna akun Instagram sering memposting jarak tempuh lari yang dicapai dengan tujuan mendapat pengakuan dari teman-temannya bahwa ia kuat berlari dengan jarak tempuh tertentu dan memerkan medali penghargaan karena mampu menyelesaikan event lari jarak 10 km, ada juga beberapa Gen z menjadikan lari sebagai konten bertemakan daily activity.
Bagaimana Aktivitas Lari Menjadi Tren di Media Sosial?
Platform seperti Strava memberikan sensasi pengalaman lari yang berbeda, di platform itu pengguna bisa membagikan jarak tempuh, heatmap rute secara instan, dan pace. Selain itu Strava juga membagikan badge atau segment leaderboard yang terhubung dengan akun media sosial, efeknya adalah memicu rasa kompetisi sehat di kalangan Gen z. Setiap aktivitas lari berubah menjadi konten dinamis yang menarik interaksi dan komentar teman online.
Sensasi yang ditawarkan platform Digital tersebut memacu para Gen z untuk semakin meningkatkan rutinitas larinya guna memenuhi kebutuhan validasi dari teman online. Mendapatkan badge untuk kategori pelari dengan pace terbaik tentu akan dapat menarik banyak respon dari teman online di Instagram, secara psikologis ini dapat meningkatkan kesehatan mental bagi mereka dan dapat membuat motivasi untuk lebih sering mengupload konten lari menjadi berlipat ganda.
Selain karena motivasi untuk berkompetisi secara sehat Gen Z juga cenderung memiliki ide kreatif dengan membentuk rute lari dengan pola unik—seperti hati, tulisan, atau siluet. Rute ini identik dengan pelari yang memiliki karakter unik atau lebih dikenal dengan istilah “pelari kalcer”. Unggahan screenshot peta Strava dengan overlay estetis memancing rasa penasaran. Proses merencanakan rute agar terlihat keren di feed membuat aktivitas lari terkesan seperti proyek seni digital, bukan sekadar olahraga rutin.
Banyak Public Figure Gencar Memsosialisasikan Pola Hidup Sehat
Banyak tokoh publik gencar memsosialiasikan manfaat lari bagi kesehatan—contohnya seperti dr. Tirta sering mengupload foto saat dirinya sedang mengikuti beragam event lari di berbagai wilayah di Indonesia.
Dr. Tirta adalah dokter idaman para kaum Gen z—dikenal dengan bahasa nyelenehnya saat menjelaskan mengenai masalah kesehatan serta penggunaan diksi yang identik dengan kaum muda membuat pria lulusan Universitas Gajah Mada tersebut sangat digandrungi oleh Gen z.
Bisa dibilang dr. Tirta menjadi alasan mengapa Gen z cenderung ingin memiliki pola hidup sehat karena konten kesehatan yang dibagikan dikemas dengan cara modern dan menyesuaikan zaman, ditambah pria yang merupakan fans Liverpool tersebut sering mengikuti berbagai event ala anak muda membuat pengaruh yang diberikan kepada Gen z untuk memiliki pola hidup sehat menjadi sangat kuat.
FOMO Olahraga Adalah Hal Positif
Berdasarkan fenomena yang dijabarkan tadi tentunya FOMO dalam hal olahraga merupakan hal positif serta bermanfaat karena erat kaitannya dengan kesehatan, dengan adanya tren tersebut membuat Gen z menjadi termotivasi untuk memiliki pola hidup sehat karena dengan badan yang sehat pikiran menjadi lebih terjaga, dari sekian banyak viralnya hal-hal FOMO hanya ada satu menurut saya mampu memberikan dampak positif yakni FOMO olahraga. Semoga semakin banyak hal FOMO positif lainnya yang mampu memberikan perubahan signifikan ke taraf hidup positif.