
KETIDAKPUASAN karyawan atas fairness dalam penilaian/evaluasi kinerja ternyata menjadi salah satu alasan utama tingginya angka turnover.
Deloitte Global Human Capital Trends Survey (2025) mengungkap lebih dari dua pertiga (66,6%) pekerja merasa sistem evaluasi kinerja mereka tidak adil dan kurang setara. Banyak karyawan yang sudah bekerja keras, tapi merasa diperlakukan tidak adil karena penilaian yang tidak mencerminkan kinerjanya.
Penyebabnya adalah ketidakjelasan kriteria penilaian, kurangnya feedback yang konstruktif dan penilaian yang hanya ditentukan 1 pihak (atasan langsung).
Sistem evaluasi yang tidak adil ini juga dinilai sebagai tantangan besar dalam membangun loyalitas dan keterlibatan karyawan.
Fenomena ini menggambarkan isu fairness yang semakin menjadi sorotan di banyak perusahaan di Indonesia. Karyawan tidak hanya berhubungan dengan atasan, tapi juga dengan rekan sejawat, bawahan, bahkan lintas divisi.
Mengabaikan perspektif mereka berarti kehilangan potret utuh tentang kontribusi seorang individu dalam organisasi.
“Evaluasi kinerja bukan hanya soal administrasi tahunan atau angka bonus. Ini menyangkut rasa dihargai. Ketika karyawan merasa penilaiannya tidak adil, dampaknya bisa langsung pada motivasi, loyalitas, hingga keputusan mereka untuk bertahan di perusahaan,” ujar pakar pengembangan SDM dari Human Care Consulting (HCC) Kartika Amelia.
Menurut Kartika, salah satu pendekatan yang kini semakin relevan adalah 360-Degree Feedback. Metode ini melibatkan umpan balik dari berbagai pihak: atasan, rekan sejawat, bawahan, dan bahkan penilaian diri sendiri.
Dengan banyak perspektif, perusahaan mendapatkan gambaran yang lebih objektif tentang bagaimana seseorang bekerja, memimpin, dan berinteraksi.
Bagi karyawan, 360-Degree Feedback memberi kejelasan yang lebih luas. Mereka dapat mengetahui kekuatan sekaligus area pengembangan, bukan sekadar mendengar opini atasan.
Feedback ini juga membantu menjawab pertanyaan penting: mengapa mereka diberi tanggung jawab tertentu, apakah karena keterampilan yang dimiliki atau kepercayaan yang diberikan. Dengan begitu, karyawan memahami perannya dengan lebih jelas, mengurangi kebingungan, dan membuka ruang untuk berkembang.
“Sering kali ada gap antara bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri dan bagaimana orang lain melihatnya. Gap ini bisa menjadi sumber stres, tapi juga peluang belajar. 360-Degree Feedback membuka ruang dialog konstruktif untuk menutup gap tersebut,” tambah Kartika.
Bagi perusahaan, manfaatnya tidak kalah besar. Data dari 360-Degree Feedback bisa digunakan untuk membuat keputusan pengembangan SDM yang lebih akurat, dari pelatihan hingga promosi.
Proses ini juga membantu pimpinan mengidentifikasi talenta potensial untuk suksesi jabatan, sekaligus memastikan bahwa perilaku karyawan sejalan dengan nilai dan budaya organisasi.
Tidak hanya itu, feedback yang beragam memberi peluang bagi perusahaan untuk menumbuhkan agen-agen perubahan: individu yang tidak hanya kompeten secara teknis, tapi juga mampu membawa pengaruh positif di tim dan organisasi.
Berbagai kajian global sudah membuktikan efektivitas dan dampak positif dari penerapan 360-degree feedback. Riset Thrive Sparrow (2025) menunjukkan bahwa 78% profesional menyatakan kemungkinan lebih tinggi untuk bertahan di perusahaan yang secara aktif berinvestasi dalam pengembangan pribadi mereka melalui sistem feedback yang terus-menerus dan berkelanjutan.
Sedangkan PLoS ONE (2025) yang dilakukan pada 25.285 karyawan mengidentifikasi bahwa fairness dalam evaluasi kinerja secara signifikan berkorelasi dengan kepuasan kerja dan keterlibatan karyawan.
Persepsi ketidakadilan meningkatkan risiko burnout dan turnover intention. Penelitian ini juga menegaskan bahwa rasa dihargai dan keadilan dalam feedback sangat kritikal dalam menjaga loyalitas karyawan dan mengurangi risiko kehilangan talenta.
Penerapan 360-Degree Feedback dapat menjadi salah satu strategi untuk memperkuat retensi. Ketika karyawan merasa suaranya dihargai dan mendapat feedback yang konstruktif, mereka cenderung lebih termotivasi dan loyal. Dalam jangka panjang, perusahaan juga diuntungkan karena produktivitas tim meningkat dan keputusan promosi lebih akurat.
Pada akhirnya, evaluasi kinerja bukan sekadar soal skor tiap tahun. Ia adalah cermin dari bagaimana perusahaan memperlakukan manusianya. Dengan membuka ruang dialog yang lebih luas melalui 360-Degree Feedback, perusahaan tidak hanya menilai, tetapi juga mendukung perjalanan pengembangan karyawan.
Dalam konteks dunia kerja yang terus berubah, fairness dalam evaluasi adalah kunci untuk menjaga keseimbangan: antara kebutuhan perusahaan untuk terus tumbuh dan kebutuhan karyawan untuk merasa dihargai. Dan di titik itu, 360-Degree Feedback bisa menjadi salah satu jawaban. (Z-1)