Sekelompok ilmuwan melakukan eksperimen unik pada katak tebu (Rhinella marina), spesies invasif yang terkenal merusak ekosistem di Australia, dengan menciptakan versi albino melalui rekayasa genetik CRISPR-Cas9. Penelitian sengaja dilakukan untuk memahami albinisme pada hewan di alam liar.
Selama ini banyak yang mengira hewan albino jarang ditemui di alam liar karena warna tubuhnya yang mencolok, membuat mereka mudah dimangsa predator. Namun, riset baru dari tim peneliti Macquarie University, Australia, menunjukkan masalah albinisme ternyata jauh lebih kompleks.
Hasil studinya, yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, menunjukkan katak tebu albino tidak hanya tumbuh lebih lambat dan bertahan hidup lebih sedikit dibanding saudara pigmennya, tetapi juga mengalami gangguan penglihatan yang signifikan.
Mereka membutuhkan cahaya lebih terang untuk berburu, sering gagal menangkap mangsa, dan menghabiskan lebih banyak energi. Karena katak tebu umumnya aktif di malam hari, keterbatasan ini membuat mereka kalah bersaing bahkan tanpa adanya predator.
"Individu albino tidak dapat menghasilkan melanin, yang berperan penting dalam perkembangan retina. Tanpa melanin, perkembangan retina menjadi terganggu. Hal ini dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan gangguan penglihatan stereoskopis, jelas Funk, mengutip IFLScience.
Selain penglihatan, albinisme juga diketahui menyebabkan sensitivitas terhadap sinar UV, masalah imunitas, hingga potensi konflik sosial pada spesies yang hidup berkelompok. Kasus tragis pernah terjadi pada 2021, ketika seekor simpanse albino di Uganda diserang dan dibunuh kelompoknya sendiri.