
DI laboratorium Nam-Joon Cho di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, suasananya tampak seperti ruang penelitian pada umumnya, para peneliti sibuk bekerja, meja penuh alat, dan suara mesin yang terus berbunyi. Tapi ada satu hal berbeda, jas lab yang tergantung dengan noda berwarna oranye-kuning. Noda itu berasal dari serbuk sari, yaitu butiran mikroskopis yang berisi sel reproduksi jantan yang biasanya dilepaskan pohon, gulma, dan rumput pada musim tertentu.
Menariknya, Cho tidak meneliti soal alergi serbuk sari atau peran serbuk sari bagi tanaman. Sebagai ilmuwan material, ia justru sudah lebih dari sepuluh tahun mengembangkan cara untuk memodifikasi lapisan keras pada serbuk sari.
Lapisan itu sangat kuat hingga sering disebut seperti "berlian" di dunia tumbuhan. Dengan tekniknya, Cho berhasil membuat serbuk sari yang tadinya kaku berubah menjadi lembut seperti selai.
Mikrogel ini, menurut Cho, bisa menjadi bahan serbaguna untuk membuat berbagai produk ramah lingkungan, seperti kertas, film, dan spons. Banyak orang mungkin menganggap serbuk sari hanyalah debu tak berguna jika tidak berfungsi untuk menyuburkan tanaman atau menjadi makanan serangga.
Namun, Cho menekankan bahwa serbuk sari sebenarnya punya potensi besar bila diolah dengan cara yang tepat. Ia bahkan menulis tinjauan tentang peluang pemanfaatan serbuk sari, dalam Annual Review of Chemical and Biomolecular Engineering tahun 2024.
Cho juga bukan satu-satunya ilmuwan yang tertarik dengan potensi serbuk sari. Noemi Csaba, peneliti nanoteknologi dan pengiriman obat di Universitas Santiago de Compostela, Spanyol, tengah mengembangkan cangkang serbuk sari yang telah dilubangi sebagai wadah pelindung untuk mengantarkan obat ke bagian tubuh seperti mata, paru-paru, dan perut.
Csaba mengatakan bahwa peneliti yang mempelajari manfaat serbuk sari bagi manusia masih sangat sedikit. "Saya merasa agak terkejut," ujarnya. "Serbuk sari adalah biomaterial yang sangat, sangat menarik."
Mengolah serbuk sari
Untuk mengolah serbuk sari, para ilmuwan biasanya memulai dengan menghilangkan lapisan lengket di permukaannya, yakni melalui proses yang disebut penghilangan lemak. Tindakan ini krusial untuk menghilangkan lipid dan protein pemicu alergi, sekaligus menghasilkan kapsul kosong yang dapat dimanfaatkan sebagai penghantar obat. Seperti yang diharapkan Csaba.
Namun, ada tantangan lain, cangkang serbuk sari yang sangat keras terbuat dari biopolimer bernama sporopollenin. Selama ini sulit ditembus dan menjadi kendala dalam pemanfaatannya.
Laboratorium Cho juga berhasil membuat kertas dari serbuk sari, yang bisa dicetak layaknya kertas biasa. Menurut Cho, kertas ini berpotensi menjadi alternatif ramah lingkungan untuk menulis, mencetak, maupun kebutuhan kemasan. IIa bahkan telah memperoleh paten atas proses produksi mikrogel yang menjadi dasar pembuatan kertas itu.
Tidak seperti kertas konvensional yang memerlukan penebangan pohon dan menghabiskan banyak sumber daya. Termasuk hingga 13 liter air untuk setiap lembarnya, serbuk sari tersedia alami dalam jumlah besar, dari tanaman berbiji.
Pembuatan kertas dari serbuk sari pun berlangsung dengan cara yang lebih mudah. Tintanya bisa dihapus dengan mudah hanya dengan larutan alkali, sehingga kertas dapat dipakai kembali. (Live Science/Z-2)