“Perubahan besar bisa dimulai dari langkah yang sederhana.” Ungkapan ini mungkin yang paling cocok untuk menggambarkan usaha para guru dan murid di UPTD SD Negeri Papela dari Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sekolah yang berada dekat dengan pesisir pantai nan indah ini memiliki masalah penumpukan sampah yang begitu meresahkan. Sebab tumpukan sampah yang tak kunjung habis dan aroma tak sedap yang melayang ke ruang kelas mengancam kesehatan murid.
“Saya masih ingat betul, beberapa tahun lalu, banyak murid kami yang sakit hingga tak bisa masuk sekolah. Setelah kami telusuri, ternyata sumbernya adalah bak sampah yang digali di tanah—terbuka, bau, dan bercampur antara organik dan non-organik,” ungkap Sri Sidin ketika diwawancarai kumparanWOMAN di Da Nang, Vietnam pada awal Juli lalu.
Oleh karena itu, ketika Sri Sidin menghadiri undangan seminar yang digagas oleh Bantu Guru Belajar Lagi (BGBL), organisasi yang berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dengan cara memberikan pelatihan dan dukungan bagi para guru, pada 2024 lalu, keinginan untuk menghadirkan perubahan pun muncul.
“Kami diundang oleh BGBL untuk mengikuti sosialisasi mengenai AIA Healthiest Schools, kami diminta untuk submit proposal program, dan saat itu kami memutuskan mengembangkan ide soal penanganan sampah di sekolah kami secara lebih serius,” ungkap Sri yang juga berperan sebagai salah satu PIC (Person in Charge) program.
Setelah melalui diskusi bersama guru lainnya di sekolah, Sri Sidin dan tim sepakat untuk membentuk program Ecolitera: Sampah Bercerita. Sebuah inisiatif yang berhasil meningkatkan kemampuan literasi siswa hingga 70 persen dan mengubah perilaku membuang sampah di lingkungan sekolah melalui integrasi pengelolaan sampah dan literasi.
Sebab setelah dianalisis lebih lanjut, para guru menemukan korelasi antara kesadaran lingkungan dan tingkat literasi yang rendah—ditunjukkan oleh indeks literasi tahun 2023 oleh BPS NTT yang menunjukkan peringkat Rote Ndao sebagai salah satu yang terendah di wilayah tersebut.
Siswa kesulitan dengan pemahaman membaca, yang membatasi pemahaman mereka tentang isu-isu lingkungan. Selain itu, para guru juga menyadari ada tiga tantangan utama yang mereka identifikasi selama pembentukan program, yaitu kebiasaan buruk, rasa malas, dan rendahnya literasi.
Maka, solusi yang mereka rancang harus menjawab ketiga hal tersebut sekaligus. Ecolitera pun dinilai bisa menjadi jawabannya karena program ini mengintegrasikan kebersihan lingkungan, pendidikan karakter, dan penguatan literasi.
“Kami percaya bahwa perubahan pola pikir bisa dimulai dari kebiasaan membaca. Anak-anak yang membaca akan lebih terbuka pikirannya, lebih paham dampak dari tindakannya, termasuk soal membuang sampah,” jelasnya.