Rudi Ahmad Suryadi
Agama | 2025-09-04 06:33:48
Kehidupan sosial tidak selalu berjalan dalam kondisi yang tenang dan baik-baik saja. Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan gejolak sosial, mulai dari perdebatan keras di ruang publik hingga konflik horizontal yang memecah belah persatuan. Kajian psikososial, sebagaimana dipaparkan oleh Kurt Lewin dalam bukunya Field Theory in Social Science, menegaskan bahwa individu selalu berada dalam interaksi dinamis dengan lingkungannya. Jika lingkungan sosial berada dalam kekacauan, maka individu juga akan terdorong pada ketegangan emosional yang dapat melahirkan stres kolektif. Dalam kaitan ini, menenangkan situasi bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga bagian dari menjaga kesehatan jiwa masyarakat.
Unjuk rasa merupakan salah satu wujud nyata partisipasi politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Kebebasan berpendapat di muka umum adalah bagian dari demokrasi yang sehat dan harus dihormati sebagai hak mendasar. Setiap warga negara berhak menyuarakan aspirasinya, baik secara individu maupun kolektif, dalam kerangka hukum yang berlaku. Namun, kebebasan tersebut tidak berarti tanpa batas, sebab harus dijalankan dengan cara yang tertib dan beradab. Jika kebebasan dilakukan secara semena-mena, maka justru akan menimbulkan masalah baru. Setiap bentuk unjuk rasa sebaiknya diarahkan untuk memperkuat demokrasi, bukan merusaknya.
Jürgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984) menegaskan bahwa kebebasan berekspresi seharusnya berada dalam bingkai komunikasi rasional yang berlandaskan penghormatan terhadap sesama. Komunikasi yang rasional akan mencegah terjadinya kesalahpahaman dan benturan kepentingan yang berlebihan. Jika unjuk rasa berubah menjadi anarkis dan destruktif, maka substansi demokrasi justru hilang karena digantikan oleh kekerasan. Nilai-nilai kebebasan yang mestinya memperkuat partisipasi warga malah runtuh akibat tindakan yang tidak terkendali. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi yang disampaikan dengan cara kasar tidak akan pernah mencapai tujuan idealnya. Inilah mengapa setiap aksi publik harus dikelola dengan bijak agar pesan yang disampaikan benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Meski demikian, tidak jarang unjuk rasa atau kerumunan berubah menjadi gesekan yang tak terkendali. Massa yang emosional mudah terprovokasi, sehingga aksi yang semula damai bisa berubah menjadi kekacauan. Penjarahan dan tindakan anarkis bukan hanya merugikan secara material, tetapi juga menciptakan trauma kolektif. Emile Durkheim dalam teori anomie menjelaskan bahwa masyarakat yang kehilangan norma akan cenderung melahirkan perilaku menyimpang. Kondisi tanpa pedoman ini membuat individu atau kelompok mudah terjerumus pada tindakan destruktif. Pengendalian emosi publik menjadi langkah penting agar masyarakat tidak terbawa arus negatif. Mengembalikan norma sosial adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan ketertiban bersama.
Ketika penjarahan terjadi, masyarakat tidak hanya kehilangan harta benda, tetapi juga rasa aman. Kehilangan rasa aman ini jauh lebih berbahaya karena dapat mengikis kepercayaan antarwarga. Tanpa kepercayaan, ikatan sosial akan rapuh dan mudah terpecah. Robert Putnam dalam Bowling Alone (2000) menyebut hal ini sebagai hilangnya modal sosial, yaitu nilai kebersamaan dan saling percaya yang membuat masyarakat kuat. Proses untuk menenangkan adalah upaya membangun kembali kepercayaan yang hilang.
Dalam perspektif Islam, pentingnya menjaga situasi sosial yang damai dapat dijelaskan melalui teori maqashid al-syariah. Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menegaskan bahwa maqashid syariah mencakup lima tujuan utama: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kericuhan dibiarkan, maka kelima aspek ini sekaligus terancam. Menenangkan keadaan menjadi bagian dari menjaga maslahat bersama. Inilah mengapa upaya meredam ketegangan dapat dimaknai sebagai ibadah, sebab ia selaras dengan tujuan utama syariat Islam.
sumber gambar: https://www.jurnas.com/artikel/108487/Dialog-Sosial-Kunci-Penyelesaian-Konflik-Internal/
Lebih jauh, menenangkan situasi juga berarti melatih diri untuk bersabar dan mengendalikan emosi. Dalam ajaran Islam, sabar bukanlah sikap pasif, melainkan kemampuan aktif untuk menguasai diri di tengah tekanan. Rasulullah SAW menempatkan islah atau mendamaikan pihak-pihak yang berselisih sebagai amal yang sangat besar nilainya, bahkan lebih utama daripada ibadah sunah. Mendamaikan keadaan dan mencegah kekacauan adalah ibadah yang nyata, karena melahirkan manfaat luas bagi masyarakat.
Tokoh agama memiliki peran penting dalam meredam konflik sosial. Mereka sering kali menjadi panutan moral yang suaranya lebih didengar oleh masyarakat daripada pejabat formal. Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menyebut agama sebagai simbol yang mampu menjaga kohesi sosial di tengah perbedaan. Dengan nasihat menyejukkan, doa, dan teladan yang baik, tokoh agama dapat menurunkan eskalasi ketegangan. Peran mereka tidak bisa diremehkan dalam menciptakan ketenangan sosial.
Selain tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemimpin lokal juga harus terlibat aktif dalam menjaga stabilitas. Mereka yang dekat dengan rakyat memiliki kemampuan untuk menjembatani komunikasi antara massa dan otoritas. Jika para pemimpin lokal mampu memberikan pemahaman yang tepat, maka potensi gesekan bisa diredam. Keterlibatan mereka menjadi benteng pertama untuk mencegah konflik berkembang menjadi kerusuhan. Peran tokoh informal sangat menentukan arah stabilitas sosial.
Masyarakat sendiri pun harus berperan aktif dalam menciptakan situasi yang damai. Pendidikan kewarganegaraan, literasi politik, dan nilai-nilai moral perlu ditanamkan sejak dini agar setiap individu mampu menyikapi perbedaan dengan dewasa. Dengan kesadaran akan pentingnya stabilitas sosial, masyarakat akan lebih sulit diprovokasi. Mereka justru menjadi agen penenang di lingkungannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan pandangan psikologi sosial yang menekankan pentingnya pengendalian diri dalam interaksi kelompok.
Membuat ketenangan bukan hanya tugas aparat atau pemerintah, melainkan tanggung jawab bersama. Setiap orang memiliki kontribusi, baik melalui ucapan yang menyejukkan, sikap yang menghindari provokasi, maupun keterlibatan dalam kegiatan sosial yang positif. Menenangkan keadaan adalah ibadah karena di dalamnya terdapat niat tulus untuk menjaga maslahat umat. Kita tidak hanya meredakan ketegangan sosial, tetapi juga menjaga nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan beragama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.