Ratusan massa aksi saat menyampaikan aspirasinya di Kompleks DPRD DIY, Senin (1/9/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Suasana di kompleks Gedung DPRD DIY sempat memanas saat ratusan massa aksi berpakaian serba hitam mulai berdatangan, Senin (1/9/2025) siang. Sebelum memasuki halaman DPRD DIY, massa yang mengaku dari Front Aliansi Mahasiswa Jogja Bergerak itu berdialog langsung dengan aparat keamanan dan akhirnya diizinkan masuk ke dalam halaman untuk menyampaikan aspirasinya.
Namun, penyambutan yang dilakukan yakni dengan iring-iringan bregada lengkap dengan instrumen musik tradisional itu menuai respon penolakan dari massa pasalnya mereka ingin menyampaikan orasi seperti aksi unjuk rasa pada umumnya tanpa harus diiringi bregada. "Kami tidak mau disambut seperti itu. Kami tidak datang untuk diiring-iringi. Kami datang membawa tuntutan, bukan untuk seremoni," kata salah satu peserta aksi, Senin (1/9/2025).
Setelah dihentikan, peserta aksi akhirnya memulai orasi. Kedatangan peserta aksi itu tak sekadar membawa spanduk, tetapi juga deretan tuntutan tegas atas situasi sosial-politik nasional yang dinilai semakin jauh dari keadilan.
Ada 11 tuntutan yang disampaikan. Di antara poin-poin yang disampaikan, tampak sorotan tajam terhadap institusi-institusi negara. Mereka mendesak pengusutan pelanggaran HAM secara tuntas, mendesak reformasi mendalam terhadap kepolisian, serta menuntut pencopotan sejumlah pejabat tinggi yang dianggap gagal menjalankan amanah publik.
"Kalau aksi terus terjadi di berbagai kota, bahkan serempak secara nasional seperti hari ini, kita harus bertanya apakah negara sedang berjalan dengan baik?," ucap Ain, salah satu orator.
Selain itu, Ain menyampaikan massa juga menuntut pengesahan terhadap regulasi penting seperti undang-undang perampasan aset dan larangan rangkap jabatan. Tak hanya itu, mereka juga menyerukan penarikan militer dari ruang-ruang sipil serta menyampaikan kritik keras terhadap kepemimpinan nasional yang dinilai tidak merespons krisis demokrasi dengan serius.
Ia juga menekankan penting pengawalan terhadap proses setelah penandatanganan tuntutan. Dari pengalaman sebelumnya, Ain mengatakan dokumen tanda tangan saja tidak cukup tanpa adanya tindak lanjut yang konkret.
"Kami tidak akan berhenti hanya sampai di sini. Kami akan terus menuntut transparansi dan kejelasan dari apa yang sudah dijanjikan," ungkapnya.