YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sebanyak sepuluh orang meninggal selama demonstrasi massa menentang berbagai kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat. YLBHI juga mencatat sebanyak 1.042 demonstran luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit serta polisi menangkap paling tidak 3.337 demonstran selama sepekan unjuk rasa.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan deretan korban tewas, luka-luka, maupun demonstran yang ditangkap itu menunjukkan tindakan represi aparat yang sistematis dalam menangani unjuk rasa massa di lapangan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Penggunaan kekerasan, tuduhan makar, dan terorisme terhadap warga, penangkapan, penyerbuan, hingga pengerahan tentara menunjukkan represi sistematis," kata Isnur lewat keterangan tertulis, pada Selasa, 2 September 2025. "Pemerintah Prabowo Subianto sedang menyebarkan ketakutan terhadap warganya sendiri.”
Sesuai dengan catatan YLBHI, eskalasi kekerasan meningkat sejak Presiden Prabowo memerintahkan TNI-Polri menindak tegas demonstran, pada Ahad, 31 Agustus 2025. Saat konferensi pers, Prabowo juga menuding demontrasi massa sudah mengarah ke tindakan makar.
Isnur mengatakan instruksi Presiden Prabowo itu lantas ditindaklanjuti oleh Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan perintah menembak massa yang masuk ke kantor polisi. Kemudian Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin juga memerintahkan TNI-Polri bekerja sama menjaga keamanan.
Di lapangan, menurut YLBHI, intensitas represi aparat semakin meningkat. Polisi tidak hanya menangkap pengunjuk rasa, tetapi juga warga yang beraktivitas di sekitar lokasi demonstrasi. Pemerintah juga diduga membatasi akses informasi, mulai dari larangan media massa meliput unjuk rasa hingga terhentinya layanan siaran langsung media sosial TikTok. Sebelum layanan siaran langsung TikTok itu dihentikan, Kementerian Komunikasi dan Digital terlebih dahulu memanggil penanggung jawab perusahaan itu di Indonesia.
Di samping itu, kata Isnur, akses bantuan hukum terhadap demonstran juga ditutup. Di sejumlah kota, kata dia, pengacara publik seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dihalang-halangi untuk mendampingi demonstran yang ditangkap oleh polisi. Bahkan di Manado dan Samarinda, pengacara LBH justru ikut ditangkap dan dipukuli oleh aparat.
“Ini sudah mengarah pada bentuk teror terhadap rakyat,” ujar Isnur.
Hasil pemantauan YLBHI di lapangan juga menemukan penggunaan kendaraan tempur Anoa 6x6 dalam patroli gabungan TNI dan Polri di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Kendaraan tempur itu juga dikerahkan ketika aparat menyerbu demonstran ke kampus Universitas Islam Bandung dan Universitas Pasundan, pada Senin, 1 September 2025.
Di lapangan, aparat juga menembakkan gas air mata lebih dari dua jam setelah aksi mahasiswa di Bandung bubar. Gas air mata diduga ditembakkan ke dalam area kedua kampus tersebut.
YLBHI menilai tindakan aparat itu bertentangan dengan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak rasa aman warga. YLBHI mengingatkan mandat Reformasi 1998 yang menegaskan bahwa militer tidak boleh terlibat dalam urusan sipil.
Atas dasar itu, YLBHI bersama 18 LBH di daerah menyatakan sikap, yaitu mengutuk penggunaan kekerasan berlebihan, mengecam penangkapan sewenang-wenang, menuntut penarikan tentara dari operasi keamanan dalam negeri, serta mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit mundur dari jabatannya.
Mereka juga meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk melakukan pengawasan independen terhadap dugaan pelanggaran HAM berat selama demonstrasi massa.
“Pemerintah jangan abai terhadap tuntutan rakyat dan kegagalan DPR menjalankan fungsinya,” kata YLBHI.