
Pemerintah telah menyepakati impor minyak dan gas bumi (migas) dari Amerika Serikat senilai USD 15 miliar atau sekitar Rp 244,41 triliun. Transaksi jumbo ini dilakukan lewat kesepakatan antara PT Pertamina (Persero) dengan tiga perusahaan migas terbesar asal Negeri Paman Sam.
Tiga perusahaan tersebut adalah ExxonMobil Corp, Chevron Corp, dan KDT Global Resource LLC. Ketiganya telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Pertamina dan anak usahanya, PT Kilang Pertamina Internasional.
"Untuk (impor) energi kemarin kan dari Pertamina, PT Kilang Pertamina Internasional kan sudah tanda tangan MoU dengan 3 yang terbesar di US. Baik yang dengan ExxonMobil, kemudian dengan Chevron, dan KDT. Itu sudah ada kesepakatan," ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, kepada wartawan di kantornya, Jumat (18/7).
Menurut Susi, kesepakatan ini mencakup impor crude oil (minyak mentah), refined gasoline (bensin hasil kilang), dan LPG. Namun, detail kerja sama tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam waktu dekat.
"(Impor) crude oil, refinery-nya gasoline, kemudian LPG. MoU kemarin kan masih baru sepakat saja, habis ini nanti kita akan detailkan," jelasnya.
Kesepakatan ini menjadi bagian dari langkah timbal balik usai Presiden AS Donald Trump menurunkan tarif resiprokal untuk produk ekspor Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. Namun, Susi menegaskan bahwa kesepakatan ini tidak berarti Indonesia dipaksa membeli produk energi dari AS.
"Itu sebenarnya tidak ada hal yang betul-betul baru. Itu kan shifting saja, realokasi dari yang pembelian sudah ada yang tadinya dari negara mana-mana. Sudah pasti nanti juga tergantung perhitungan bisnisnya seperti apa. Jadi, tidak serta-merta kita dipaksa beli, tidak begitu. Tetap subjek pertimbangan bisnisnya dan perhitungannya seperti apa," katanya.
Ia juga menyebut kerja sama ini akan dituangkan dalam dokumen resmi joint statement antara Indonesia dan AS. Susi menegaskan, skema final dari kesepakatan tersebut masih akan dibahas bersama dengan United States Trade Representative (USTR).
"Kita kan masih akan ketemu terus dengan United States Trade Representative (USTR), di joint statement nanti akan dibunyikan di situ. Kita akan sepakat, kemudian nanti detailnya, skemanya seperti apa, akan kita detailkan lagi. Dan itu bukan kita dipaksa. Kita juga akan diuntungkan dengan itu, menjaga ketahanan energi kita," jelas Susi.
Sebagai bagian dari implementasi kesepakatan, pemerintah juga tengah menyiapkan kawasan ekonomi khusus (KEK). Namun, Susi belum merinci lebih lanjut soal lokasi maupun skema fasilitas itu.
Selain energi fosil, Indonesia juga menyepakati kerjasama strategis dengan AS dalam bentuk pembebasan tarif dan kuota ekspor mineral kritis olahan, seperti nikel dan tembaga. Kesepakatan ini dinilai penting untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik dan industri teknologi.
“Kemarin kita sepakat untuk mineral kritis olahan kita itu tidak dikenal tarif dan kuota,” kata Susiwijono.